tesiski


ANALISIS STABILITAS DAN EFEKTIVITAS MEKANISME TRANSMISI <!– @page { size: 21cm 29.7cm; margin: 2cm } P { margin-bottom: 0.21cm } A:link { color: #0000ff } –>

ANALISIS STABILITAS DAN EFEKTIVITAS MEKANISME TRANSMISI

LEWAT JALUR

JUMLAH UANG BEREDAR DAN KREDIT

DI INDONESIA

TESIS

Untuk memenuhi sebagai persyaratan

Mencapai derajat sarjana S-2

Program Studi

Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan

Dumadi Tri Restiyanto

C4B006084

PROGRAM PASCA SARJANA

ILMU EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2008

Abstraksi

Mekanisme trasmisi kebijakan moneter bergerak melalui berbagai jalur, yaitu jalur suku bunga, jalur nilai tukar, jalur harga aset, dan jalur kredit. Penelitian ini akan membandingkan jalur jumlah uang beredar dengan jalur kredit (Jalur Kuantitas) dalam efektifitas mekanisme transmisi di Indonesia sebelum dan sesudah krisis moneter.

Dengan menggunakan Parsial Adjusment Model (PAM), membandingkan Persamaan fungsi Jumlah Uang Beredar (M1) dan fungsi kredit (L). Kemudian dari masing-masing persamaan (persamaan kuadrat terkecil) OLS tersebut, diperoleh variance residual masing-masing. Apabila variance residual-nya lebih kecil menunjukkan jalur ini lebih efektif dalam intermediasi, dalam hal ini meningkatkan pertumbuhan ekonomi (PDB).

Sebelum krisis moneter Jumlah Uang Beredar (M1) lebih efektif dari Kredit (L) dalam mekanisme transmisi moneter, ditunjukkan dengan variance residual Jumlah Uang Beredar ( M1) lebih kecil dari kredit (L).

Sesudah krisis moneter kebijakan moneter pasca krisis dianggap mampu mengembalikan kestabilan moneter. Kredit lebih efektif dari Jumlah Uang Beredar (M1) dalam mekanisme transmisi moneter ditunjukkan dengan variance residual Jumlah Uang Beredar (M1) lebih besar dari kredit sesudah krisis moneter.

Kata Kunci : Jumlah Uang Beredar (M1), Kredit (L) , Variance Residual, Mekanisme Transmisi.

BAB I
PENDAHULUAN

    1. Latar Belakang Masalah

Krisis moneter tahun 1997 menyebabkan kondisi perbankan Indonesia mengalami situasi yang sangat sulit. Perbankan mengalami kesulitan likuiditas akibat Bank Runs, akibat turunnya nilai rupiah (depresiasi) terhadap dollar Amerika. Kesulitan likuiditas ini dibuktikan dengan tidak mampunya bank melayani permintaan uang dari masyarakat secara likuid, mengakibatkan kepercayaan masyarakat pada lembaga perbankan pada waktu itu menjadi rendah. Akibat kesulitan likuiditas tersebut bank-bank mengalami kendala keuangan, bahkan banyak yang kalah kliring, sehingga banyak bank yang mengalami kebangkrutan.

Penarikan dana masyarakat akibat turunnya nilai tukar rupiah, ditandai dengan harga Dollar yang mencapai nilai 14.900 rupiah (lihat Grafik 1.1). Akibatnya adalah bank-bank tidak mampu melayani penarikan uang dari nasabah mereka. Peristiwa di atas dinamakan krisis likuiditas, dan penarikan besar-besaran dana masyarakat ini dinamakan dengan Bank Runs. Kepanikan ini mengakibatkan terjadinya efek karambol, yang mengakibatkan banyak bank tidak mampu menyelesaikan kewajibannya, baik di pasar uang antar bank (PUAB), ataupun kewajiban-kewajiban lain yang harus dipenuhi oleh bank. Ketidakmampuan memenuhi kewajibannya ini mengakibatkan ketidakpercayaan masyarakat pada bank.

Grafik 1.1

Total

Tahun

Sumber BI, diolah

Bank Runs mengakibatkan ketidakseimbangan di pasar uang, dimana permintaan uang cukup tinggi, sedangkan penawaran uang terus merosot. Bank-bank yang tidak mampu memenuhi kewajibannya harus gulung tikar, akibatnya kerugian banyak dialami oleh nasabah. (HLB Hadlori, 2002) Guna mengembalikan kepercayaannya, maka bank-bank umum di bawah kendali Bank Indonesia mengambil tindakan yang hati-hati di dalam mengelola likuiditas keuangan mereka. Bentuk kehati-hatian tersebut berupa penerapan manajemen perbankan dengan berbasis manajemen resiko yang cukup ketat.

Kehati-hatian ini memunculkan ketidakseimbangan baru. Ketidakseimbangan baru ini disebut Credit Crunch. Credit Cruch menyebabkan permintaan kredit lebih besar dari penawaran kredit, berakibat bank lebih banyak menyimpan dana mereka dalam bentuk Obligasi Pemerintah. Pada kenyatannya sebagian besar aset bank-bank diinvestasikan dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Fasilitas Bank Indonesia (FASBI) dan Surat Utang negara (SUN). Keputusan ketiga portopolio tersebut diambil karena bobot resiko dalam Bassel I, II, III adalah sama dengan nol. Ketiga aset/kekayaan tersebut akan meningkatkan Capital Adequacy Rasio (CAR) yang tinggi, menyebabkan prasyarat kesehatan perbankan.

Loan to Deposit Rasio (LDR) hanya 51 persen pada bulan Maret 2005, artinya dana pihak ketiga yang disalurkan menjadi kredit hanya 51 persen saja, berarti bahwa setiap kegiatan perbankan nasional hanya berupa penjualan dan pembelian obligasi negara, dan bukan memberi kredit bagi kebutuhan dunia usaha. Pemberian kredit banyak digunakan untuk belanja konsumsi rumah tangga, dan bukan untuk kebutuhan investasi. Kredit seperti ini sangat rentan terhadap kenaikkan suku bunga, yang dalam jangka panjang dapat menambah kredit macet. (Anwar Nasution, 2006) Kondisi tersebut akan mengakibatkan kredit perbankan yang dikucurkan tidak mendorong tingkat pendapatan riil.

Credit Crunch menjadi hambatan besar dari fungsi intermediasi perbankan, yaitu berupa penurunan kredit yang dapat diperoleh masyarakat. Kredit tersebut banyak digunakan untuk kebutuhan investasi dan modal kerja. Padahal kebutuhan pertumbuhan kredit perbankan adalah sebesar 22 persen setiap tahunnya. Hal ini diperlukan untuk membantu mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 5-6% per tahun. Pada kenyataannya potensi permodalan perbankan saat ini hanya sanggup untuk mendorong pertumbuhan kredit maksimum 16% saja. (Agus Sugiarto, 2004) Jadi masih diperlukan pertumbuhan 6% kredit perbankan untuk memacu target pertumbuhan ekonomi tersebut.

Credit crunch merupakan fenomena terjadinya ketidakseimbangan di pasar kredit yang disebabkan oleh faktor-faktor sisi penawaran pada bank, dan sisi permintaan debitur, ataupun kondisi ekonomi dan moneter yang berpengaruh terhadap penyaluran kredit perbankan, khususnya kebijakan moneter. (Perry Warjiyo, 2007)

Secara mikro, credit crunch dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, mengingat sumber pembiayaan dunia usaha bergantung pada kredit bank. Credit crunch yang terus berlangsung dapat mengakibatkan second round effect (efek babak kedua) pada kegagalan bisnis dunia usaha, yang pada akhirnya kembali memperburuk kualitas pinjaman bank dan berisiko terjadi kembali krisis moneter. Bagi kepentingan pengendalian moneter, credit crunch memiliki implikasi terhadap efektifitas pengendalian moneter. Hal ini akibat dari respon perbankan dalam mentransmisikan sinyal kebijakan moneter terhadap berbagai aktifitas keuangan dan ekonomi tidak seperti yang menjadi harapan Bank Sentral. (Perry Warjiyo, 2007)

Prinsipnya pertumbuhan ekonomi merupakan hasil dari efek pertumbuhan kredit, sehingga dibandingkan dengan pertumbuhan uang terlihat bahwa pertumbuhan kredit lebih kuat dalam menjelaskan besarnya pertumbuhan pendapatan nasional. (HLB Hadori dan Rekan, 2002)

Hambatan kredit didorong oleh penurunan daya beli masyarakat, di mana pertumbuhan pendapatan selalu lebih rendah dari pertumbuhan tingkat suku bunga, baik SBI maupun suku bunga kredit dari tahun 1990 sampai 2006.

Tabel 1.2

Data Pertumbuhan PDB, suku bunga SBI dan kredit

sebelum dan sesudah krisis

Tahun

Total

Total

Tahun

Total

Tahun

Sumber BI, diolah

Perjalanan pertumbuhan pendapatan terlihat cukup mendatar, namun pertumbuhan inflasi, suku bunga SBI dan suku bunga kredit mengalami gejolak yang cukup luar biasa di tahun 1997 kuartal III sampai dengan 1998 Kuartal IV diikuti dengan tidak ada gejolak pertumbuhan pendapatan nominal dari tahun yang sama.

Tabel 1.3

Inflasi , pertumbuhan PDB, suku bunga SBI dan kredit

Tahun

Total

Sumber BI, diolah

Tahun-tahun tersebut merupakan situasi sulit, ditandai dengan adanya gejolak moneter yang tidak stabil diiringi dengan krisis moneter dan krisis likuiditas. Suku bunga dan inflasi tidak terkendali. Tanpa dorongan pendapatan nominal untuk mengimbangi kedua hal tersebut mengakibatkan penurunan daya beli masyarakat. Sedangkan tingkat pertumbuhan pendapatan rata-rata lebih rendah dari tingkat bunga kredit investasi dari tahun 1990 sampai akhir 2006, artinnya bahwa pertumbuhan pendapatan yang diperoleh dari investasi dari tahun ke tahun memiliki kecenderungan untuk tidak memenuhi kewajiban membayar suku bunga kredit.

Penelitian yang dapat menjelaskan dan menerangkan sejauh mana kebijakan moneter dan stabilitas perbankan secara makro dan mikro ekonomi dalam penyaluran kredit sangat diperlukan. Penggunaan model Quantum Channel yang merupakan gabungan Credit Channel dan Money Channel, akan diterapkan dalam analisis data, guna menerangkan dan mendapatkan kesimpulan yang tepat. Jalur mekanisme transmisi dengan Quantum Channel langsung mempengaruhi tingkat suku bunga sebagai intermediate target, kemudian mempengaruhi investasi dan sektor riil berdasarkan berjalannya transmisi perbankan.

Dalam hal ini akan dilakukan studi empiris secara runtut waktu (time series) dari tahun 1990 sampai masa sebelum krisis tahun 1997 dan sejak krisis tahun 1997 sampai tahun 2006 menggunakan data kuartalan.

    1. Rumusan Masalah

Krisis perbankan di Indonesia tahun 1997 melahirkan beberapa permasalahan stabilitas moneter dan intermediasi perbankan. Sehingga perlu adanya strategi-strategi kebijakan moneter BI untuk mengatasi krisis moneter. Beberapa peneliti sebelumnya meneliti tentang stabilitas jalur moneter dan kredit guna melihat efektifitasnya dalam mekanisne transmisi, dengan hasilsebagai berikut:

Berdasarkan data time series dari tahun 1990:1 sampai 2000:4 dengan menggunakan variabel dependen Jumlah Uang Beredar (M1) dan Kredit dengan mengacu pada model Bernanke-Blinder.

    1. Sebelum krisis moneter (1990:1 sampai 1997:3) volatilitas M1 lebih besar dari kredit. Artinya Kredit lebih efektif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam mekanisme transmisi.

    2. Sesudah krisis moneter (1990:4 sampai 2000:4) volatilitas Kredit lebih besar dari M1. Artinya Jumlah Uang Beredar lebih efektif dalam meingkatkan pertumbuhan ekonomi dalam mekanisme transmisi.

Sebagai perbandingan ideal dari kondisi Indonesia tersebut penulis membandingkan kondisi tersebut dengan Amerikat Serikat. Perbandingan dilakukan dengan meninjau penelitian yang dilakukan oleh Bernanke–Blinder (1998) dengan Variabel Jumlah uang beredar (M1) dan Kredit (L) dari tahun 1974:1 sampai 1985:4, dengan kesimpulan bahwa:

  1. Pada paruh pertama data berkala yaitu tahun 1974:1 sampai tahun 1979:3 volatilitas kredit lebih besar dari Jumlah Uang Beredar (M1). Artinya Jumlah uang beredar lebih efektif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

  2. Pada paruh kedua data berkala yaitu tahun1979:4 sampai tahun 1985:4 volatilitas Kredit lebih kecil dari Jumlah Uang Beredar ( M1). Artinya bahwa kredit lebih efektif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Implikasi kebijakan pemerintah untuk menangani kredit lebih signifikan untuk meningkatkan pertumbuhan PDB di Amerika Serikat. Artinya di Indonesia setelah krisis moneter tingkat kredit tidak efektif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian HLB Hadlori (2002) bahwa yang terjadi di Indonesia, justru setelah krisis moneter volatilitas kredit lebih besar dari penawaran uang.

Tujuan Penelitian

Penelitian tentang stabilitas Quantum Channel di dalam intermediasi di Indonesia diteliti dengan tujuan :

  1. Menganalisis stabilitas Jalur Kredit dan Jumlah Uang Beredar (M1) dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter.

  2. Sejauh mana efektivitas antara Jumlah Uang Beredar(M1) dan Kredit (L) sebelum krisis dan sesudah krisis moneter dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam mekanisme transmisi.

  3. Menguji secara empiris faktor-faktor yang mempengaruhi Jumlah Uang Beredar (M1) dan Kredit sebelum dan sesudah krisis, yaitu :

  1. pengaruh PDB terhadap M1.

  2. inflasi terhadap M1.

  3. suku bunga terhadap M1.

  4. pengaruh PDB terhadap kredit.

  5. Inflasi terhadap kredit.

  6. suku bunga SBI terhadap kredit.

  7. suku bunga kredit terhadap kredit.

    1. Kegunaan Penelitian

Penelitian dilakukan dengan tujuan berguna untuk :

  1. Bank Indonesia sebagai Otoritas Moneter adalah untuk menganalisis secara empiris pelaksaaan kebijakan moneter melalui instrumen kebijakan moneter yang dukeluarkan Bank Indonesia dalam pengendalian stabilitas sistem Moneter.

  2. Bank Umum baik Negeri atau Swasta baik asing maupun nasional adalah untuk menjalankan fungsinya dengan tepat, baik sebagai lembaga intermediasi dan lembaga profit akan mampu untuk melakukan ekspektasi-ekspektasi serta mampu merespon kebijakan moneter.

  3. Dunia pendidikan dan para peneliti yang tertarik untuk meneliti kajian yang sama dalam bidang moneter dan perbankan, diharapkan penelitian ini menjadi salah satu masukan bagi masalah-masalah yang muncul dalam fenomena moneter dan menambah wawasan mengenai dunia moneter dan perbankan dalam penelitian berikutnya sebagai batu pijakan yang tepat dan benar.

    1. Sistematika Penulisan

Sistematika yang digunakan dalam penulisan tesis ini mengacu pada buku pedoman penulisan tesis yang berlaku di program Magister Ilmu Ekonomi dan stusi Pembangunan Universitas Diponegoro Semarang, bahwa laporan penelitian untuk tesis ini disusun dalam 5 (lima) bab yang mencakup materi sebagai berikut :

Bab I Pendahuluan

Pendahuluan berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian dan kegunaan penelitian serta sistematika yang digunakan.

Bab II Tinjauan Pustaka dan Kerangka Pemikiran Teoritis

Berisi uraian tentang telaah pustaka untuk melandasi penelitian, review penelitian terdahulu, kerangka pemikiran teoritis, hipotesis penelitian dan definisi operasional variabel.

Bab III Metode Penelitian

Pada bab ini diuraian mengenai jenis dan sumber data, populasi dan prosedur penentuan sampel, metode pengumpulan data, analisis data, deskripsi statistik variabel, uji asumsi klasik, serta teknik analisis.

Bab IV Gambaran Umum dan Analisis Data

Pada bab ini terdiri dari gambaran umum obyek penelitian, deskripsi statistik variabel, uji Asumsi Klasik, pengujian hipotesis, dan pembahasan hasil penelitian.

Bab V Penutup

Dalam bab ini dibahas tentang kesimpulan hipotesis, keterbatasan penelitian dan implikasi penelitian mendatang.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA

PEMIKIRAN TEORITIS

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Stabilitas Sistem Perbankan dan Kebijakan Moneter.

Stabilitas sistem perbankan dan sistem moneter merupakan dua aspek yang saling terkait dan menentukan satu sama lain. Stabilnya sistem perbankan secara umum dicerminkan dengan kondisi perbankan yang sehat dan berjalannya fungsi intermediasi perbankan dalam memobilisasi simpanan masyarakat untuk disalurkan dalam bentuk kredit dan pembiayaan lain kepada dunia usaha. Apabila kondisi ini terpelihara, maka proses perputaran uang dan mekanisme transmisi kebijakan moneter dalam perekonomian yang sebagian besar berlangsung melalui sistem perbankan juga dapat berjalan dengan baik. Stabilnya sistem perbankan akan menentukan efektivitas pelaksanaan kebijakan moneter. (Perry Warjiyo, 2007)

Bank Sentral memiliki peranan yang penting dalam perekonomian di suatu negara. Bank sentral memiliki dua tujuan pokok, yaitu :

  1. Menjaga stabilitas harga dan memacu pertumbuhan ekonomi.

  2. Menjaga stabilitas nilai tukar dan stabilitas keuangan.

Kebijakan moneter merupakan kebijakan bank sentral atau otoritas moneter dalam bentuk pengendalian besaran moneter, seperti jumlah uang beredar, uang primer, kredit perbankan dan suku bunga untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang dibutuhkan. Kebijakan moneter itu sendiri saling berkaitan satu sama lain, dan memungkinkan terjadinya trade off dalam penerapannya. Dalam praktek, perkembangan kegiatan perekonomian yang diinginkan adalah terjaganya stabilitas ekonomi makro yang dicerminkan oleh stabilitas harga (inflasi rendah), membaiknya pertumbuhan ekonomi serta luasnya lapangan kerja.

Efektifitas kebijakan moneter ini sangat berperan dalam menjalankan fungsi perbankan sebagai lembaga intermediasi, dan fungsi bank sentral sebagai pengendali stabilitas moneter. Dengan menggunakan berbagai macam instrument Bank sentral berfungsi sebagai lembaga stabilisator makro ekonomi, dan bank umum dari sisi mikro ekonomi menjaga stabilitas moneter.

Kebijakan moneter adalah kebijakan bank sentral atau otoritas moneter dalam bentuk pengendalian moneter dan atau suku bunga untuk mencapai perkembangan kegiatan ekonomi yang diinginkan. Besaran moneter (stock money) dapat berupa uang beredar dalam arti sempit dan dalam arti luas, uang primer atau kredit perbankan. Kebijakan moneter merupakan kebijakan ekonomi makro, yang pada umumnya mempertimbangkan siklus kegiatan ekonomi, sifat perekonomian (tertutup atau terbuka), serta faktor-faktor fundamental lainnya.

Kondisi perbankan sangat berpengaruh besar terhadap bekerjanya dan efektivitasnya saluran transmisi moneter khususnya jalur moneter, jalur kredit, dan jalur suku bunga.

Dalam kondisi dimana kesehatan dan stabilitas perbankan terjaga dan berkembang kuat, ketiga jalur transmisi ini tidak menunjukkan perbedaan yang berarti. Akan tetapi, dalam kondisi ketika perbankan sedang mengalami sejumlah permasalahan, sehingga proses intermediasi keuangan maupun pasar keuangan tidak berjalan normal, maka perilaku ketiga jalur transmisi moneter tersebut menunjukkan perbedaan yang berarti. (Perry Warjiyo, 2007)

Proses intermediasi ini merupakan fungsi dan tugas perbankan, namun di sisi lain perbankan juga harus menjaga likuiditasnya, karena bank harus menghadapi berbagai resiko yang harus dihadapi dan perlu diantisipasi karena menghadapi ketidak pastian di masa datang.

Stabilitas sistem moneter dan perbankan sangat dibutuhkan oleh perbankan untuk melakukan estimasi-estimasi atau prediksi–prediksi yang harus dilakukan perbankan dalam menghadapi resiko-resiko perbankan, terutama resiko pasar.

Pencapaian sasaran kestabilan moneter dapat didukung oleh pencapaian kesehatan dan kestabilan perbankan melalui beberapa aspek. Sistem perbankan yang sehat diperlukan agar sinyal kebijakan moneter dapat ditransmisikan secara efektif ke berbagai aktifitas ekonomi.

Apabila kondisi bank-bank rentan, bank sentral jelas akan mengalami kesulitan untuk menilai keterkaitan instrumen kebijakan moneter yang ditempuhnya dengan arah kinerja perekonomian yang diinginkan, sehingga akan mempersulit perumusan kebijakan moneter yang akan ditempuh. Dengan kondisi perbankan yang memburuk, efektivitas kebijakan moneter juga akan terhambat karena bank-bank tidak akan mampu merespon sinyal kebijakan moneter secara baik. (Perry Warjiyo, 2007)

      1. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter.

Mekanisme transmisi kebijakan moneter menggambarkan bagaimana kebijakan mempengaruhi perubahan jumlah uang beredar atau tingkat bunga dalam jangka pendek berdampak pada variabel riil yang terdiri dari Pengeluaran Agregat. Jalur dalam transmisi kebijakan moneter beroperasi melalui efek yang berupa kebijakan suku bunga, portopolio, kekayaan, pinjaman bank, dan neraca perusahaan.(Peter N. Ireland, 2005)

Seperti diuraikan di atas, salah satu kekhususan perbankan terkait erat dengan perannya dalam proses penciptaan uang di dalam perekonomian yang mayoritas melalui sitem perbankan. Dengan peran seperti ini, kondisi perbankan akan menentukan seberapa besar efektivitas mekanisme transmisi kebijakan moneter yang ditempuh bank sentral dapat mempengaruhi berbagai aktivitas ekonomi dan keuangan. (Perry Warjiyo, 2007) Bank sentral memasukkan dua komponen penting dari uang inti yaitu uang kartal dan cadangan bank.

Dimana, bank sentral mengawasi uang inti. Bentuk aksi kebijakan moneter adalah dengan dimulai ketika bank sentral mengubah uang inti melalui operasi pasar terbuka, membeli berbagai macam sekuritas, selebihnya obligasi pemerintah untuk menaikkan uang inti atau menjual sekuritas untuk menurunkan uang inti. (Peter N. Ireland, 2005)

Tindakan itu kemudian berpengaruh terhadap aktifitas ekonomi dan keuangan melalui berbagai jalur transmisi kebijakan moneter, yaitu jalur uang, kredit, dan suku bunga, yang pada umumnya berlangsung melalui sistem perbankan.

Beberapa kajian terdahulu menyimpulkan bahwa transmisi kebijakan moneter jalur moneter melalui uang primer atau uang inti (M0) dan uang beredar (M1) dan (M2) masih dipandang cukup relevan saat ini. Temuan penting yang ada saat ini adalah adanya jalur kredit. Bekerjanya mekanisme transmisi kebijakan moneter dipengaruhi oleh perubahan struktural dan kebijakan ekonomi keuangan yang telah diterapkan tersebut.

Keterkaitan kebijakan moneter dengan perbankan tersebut melalui dua tahap transmisi moneter dalam proses perputaran uang (Perry Warjiyo, 2007).

1. Interaksi antara bank sentral dengan perbankan dalam berbagai transaksi pasar uang yang berkaitan dengan operasi moneter bank sentral dalam manajemen likuiditas perbankan.

2. Interaksi antara perbankan dengan para pelaku ekonomi di sektor riil dalam proses intermediasi keuangan dalam berbagai aktivitas ekonomi baik dalam bentuk penerimaan simpanan dari masyarakat atau penyaluran kredit kepada dunia usaha.

Jalur-jalur mekanisme transmisi didefinisikan dalam beberapa pendekatan oleh para ekonom moneter. Sebagian besar membaginya dalam empat jalur utama, yaitu :

  1. jalur tingkat suku bunga (traditional interest rate),

  2. jalur kredit (credit channel/ credit view),

  3. Jalur nilai kekayaan (asset price channel), dan

  4. jalur nilai tukar (exchange rate channel), walaupun sebagian ekonom memasukkan dalam exchange rate channel dalam asset price channel.

Reddy (2002) membagi jalur tersebut dalam pengelompokan yang sedikit berbeda, yaitu:

  1. Quantum Channel , jalur ini terdiri dari money supply (money Channel) dan credit channel

  2. interest rate channel dan asset price channel.

Walaupun demikian, maksud dari jalur-jalur tersebut adalah sama meskipun berbeda dalam pengklasifikasian. (HLB Hadori, dan rekan, 2002).

Quantum Channel menjadi jalur paling dominan dalam mekanisme transmisi karena langsung mempengaruhi :

  1. tingkat suku bunga sebagai sasaran antara untuk kemudian kemudian mempengaruhi tingkat investasi dan

  2. sektor riil secara umum berdasarkan berjalannya mekanisme transmisi perbankan.

Pengkajian mekanisme transmisi kebijakan moneter di dunia terus dilakukan. Hal tersebut dilakukan tidak saja karena mekanisme transmisi dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yang terjadi dalam perekonomian dan sektor keuangan, akan tetapi juga untuk terus meningkatkan efektifitas kebijakan moneter.

2.1.3 Intermediasi Perbankan dan Efektifitas Kebijakan Moneter

Tantangan utama bagi kebijakan moneter pasca krisis di Indonesia adalah kurang efektifnya kebijakan moneter dalam mempengaruhi aktivitas ekonomi. Permasalahan itu terutama berakar dari kondisi neraca perbankan yang masih belum sepenuhnya normal dan belum pulihnya intermediasi perbankan. (Burhanudin Abdullah, 2005)

Permasalahan ini menimbulkan dua penyakit kronis dalam sistem moneter yaitu :

  1. Perbankan tergantung pada sumber pendapatan dari surat-surat berharga seperti SBI (Sertifikat Bank Indonesia) dan obligasi pemerintah.

  2. Perbankan dalam kondisi kelebihan likuiditas yang dapat mengancam stabilitas nilai tukar.

Dampaknya adalah biaya pengendalian moneter oleh Bank Indonesia menjadi mahal. Dalam kondisi demikian, kenaikan suku bunga SBI untuk mengurangi inflasi dan menstabilkan nilai tukar seringkali tidak direspon oleh kenaikan suku bunga deposito perbankan dengan seimbang. Karena perbankan cenderung memanfaatkan momentum kenaikan suku bunga SBI tersebut untuk mendapatkan margin keuntungan dari selisih antara suku bunga SBI dan obligasi variabel rate sebagai instrumen penempatan dan deposito sebagai instrumen dana.

Kondisi ini menyebabkan kebijakan moneter untuk menyerap kelebihan likuiditas di masyarakat dan dalam rangka menjaga paritas tingkat bunga menjadi tidak efektif. Dengan kata lain, untuk mencapai tujuan kontraksi moneter dan meningkatkan suku deposito diperlukan kenaikan suku bunga yang lebih tinggi dari yang seharusnya. Hal ini sering menimbulkan dilema. Di satu sisi, kebijakan moneter perlu diterapkan secara hati-hati, dan terukur untuk mencapai sasaran moneter dalam rangka menyerap kelebihan likuiditas agar tidak menambah tekanan terhadap inflasi dan melemahnya nilai tukar. Namun di sisi lain, upaya penyerapan ekses likuiditas tersebut agar efektif memerlukan perubahan stance kebijakan yang drastis yang dapat mengganggu momentum pemulihan ekonomi yang sedang berjalan.

Rendahnya efektifitas kebijakan moneter juga terjadi pada saat kebijakan moneter bersifat ekspansif melalui penururunan suku bunga. Penurunan suku bunga SBI yang diharapkan dapat mendorong perbankan menurunkan suku bunga kredit belum diikuti oleh penurunan suku bunga kredit secara signifikan. Faktor utama yang mempengaruhi kekakuan suku bunga kredit ini adalah sebagai konsekuensi dari pendapatan perbankan yang masih didominasi oleh pendapatan suku bunga obligasi. Turunnya suku bunga obligasi bagi para pemegang obligasi variabel rate akan menurunkan pendapatan perbankan sehingga bank cenderung mempertahankan pendapatannya dengan menahan penurunan suku bunga kredit.

Belum pulihnya fungsi intermediasi yang berakibat pada kelebihan likuiditas perbankan juga menyebabkan pengelolaan moneter menjadi tidak efisien. Bank lebih tertarik menanamkan kelebihan likuiditasnya pada asset yang aman seperti SBI dan Bank Indonesia harus membayar bunga atas SBI tersebut. Pembayaran bunga ini juga berarti menambah likuiditas lagi ke dalam sistem perbankan yang harus diserap lagi untuk menjaga likuiditas tidak berlebihan.

Oleh karena itu, upaya untuk mengembalikan fungsi intermediasi perbankan harus dilakukan secara komprehensif melihat anatomi permasalahan yang dihadapi. Dari pengamatan beberapa tahun ini, ada empat dimensi pokok yang menjadi kunci pemulihan intermediasi menurut Burhanudin Abdullah (2005), yaitu :

  1. Stabilitas ekonomi makro yang tercermin dari inflasi yang rendah, nilai tukar yang relatif stabil, dan suku bunga yang kondusif bagi perbankan dan sektor dunia usaha.

  2. Struktur keuangan perbankan yang sehat dan regulasi perbankan yang kondusif bagi perbankan dalam menyalurkan kredit.

  3. Struktur dunia usaha yang sehat sehingga meningkatkan kualitas debitur.

  4. Infrastruktur dan iklim investasi yang mendukung bagi esktor riil.

2.1.4 Bank Runs

Terdapat dua teori yang menjelaskan terjadinya bank runs. Teori pertama menyebutkan bahwa bank runs terjadi karena proses self-fulfilling akibat ketidak percayaan masyarakat terhadap bank. Tidak terdapatnya informasi yang sempurna mengenai kondisi bank oleh nasabah (assymetrics informations) mengakibatkan penarikan uang yang terjadi pada salah satu bank akibat ketidak percayaan memicu nasabah lain untuk menarik dananya atau cepat menjalar (contagion) ke bank lain atau krisis perbankan. Penarikan dana secara bersamaan itu merupakan strategi yang optimal bagi nasabah khususnya dalam kondisi tidak terdapatnya sistem penjaminan terhadap dana nasabah di bank.

Teori kedua menyebutkan bahwa bank runs dan krisis perbankan yang terjadi terkait erat dengan kondisi fundamental perbankan dan kondisi ekonomi suatu negara. Dalam hal ini bahwa bank runs dari proses self-fulflling tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi terjadi dengan memburuknya kondisi keuangan bank baik yang berasal dari pengelolaan usaha yang tidak baik (moral hazard) maupun yang berasal dari memburuknya kondisi ekonomi . Kondisi keuangan bank yang buruk akan mengakibatkan bank tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan likuiditas nasabah dan selanjutnya kondisi tersebut akan mengurangi kepercayaan terhadap bank. Ketidak percayaan terhadap bank akan mendorong nasabah menarik dananya secara bersamaan dan selanjutnya dapat menimbulkan resiko sistemik ke bank lainnya(banking crisis). (Iskandar Simorangkir, 2003)

Bank runs yang berupa penarikan dana pada bank oleh masyarakat inilah yang mengakibatkan terganggunya likuiditas bank. Sedangkan dana yang dipegang oleh bank tidak semuanya disimpan dalam kas, namun juga digunakan untuk melakukan kegiatan keuangan lainnya seperti pembelian obligasi dalam hal ini SBI dan asset-asset jangka pendek lainnya seperti saham dan valuta asing, namun juga untuk penggunaan asset dan investasi jangka panjang yaitu kredit baik berupa kredit konsusmsi, investasi dan modal kerja yang tidak dapat dengan mudah untuk ditarik kembali.

Paling tidak ada dua jenis pengalihan atau penarikan dana masyarakat ketika kepercayaan terhadap sistem perbankan menurun yaitu pengalihan kepada bank atau lembaga keuangan lain yang lebih dipercaya, atau mengalihkannya dari sistem perbankan baik dalam bentuk konversi ke uang kartal atau menanamkannya investasi, bank atau lembaga keuangan luar negeri. Kedua hal itu melahirkan dampak yang berbeda pada sektor perbankan. (HLB Hadori dan Rekan, 2002)

Peristiwa bank runs inilah yang menyebabkan kehati-hatian bank yang cukup tinggi, sehingga fungsi intermediasi bank menjadi terganggu, akibat pengalaman masa lalu bank lebih bersikap risk averse.

Semua krisi yang berat memiliki karakteristik sistem keuangan yang memilik proporsi NPL (non-performing loans) dan rendahnya kepercayaan, tingginya DER ( debt-equity ratio) dari perusahaan. Tingginya tingkat NPL (non-performing loans) akan mengakibatkan kebangkrutan lembaga keuangan dan hilangnya kepercayaan dari investor. Gerak Bebas dari Modal, Pelarian Modal (capital flight) akan terjadi, dan tekanan devaluasi akan meningkat.

Dengan sistem keuangan yang sehat , bank runs dan Capital flights biasanya tidak akan terjadi., dan tidak akan terjadi krisis keuangan. Ketika krisis keuangan terjadi, dalam suatu kondisi, otoritas moneter dapan menaikan tingkat suku bunga untuk mempertahankan stabilitas moneter. Pemerintah tidak dapat mencegah peristiwa atau kejadian dimana kenaikan tingkat suku bunga mengakibatkan capital flights dan mencegah perang spekulasi internasional. Tingkat bunga yang tinggi akan mengakibatkan resesi. Meskipun, dalam kondisi normal, krisis relatif lebih baik dibanding ketidakpastian dan ketidak terkendalinya krisis keuangan dan krisis cadangan sebagai dampaknya.

Pasalnya credit/bank runs ini adalah akibat ketidak percayaan masyarakat yang cukup besar terdapat perbankan sehingga mereka secara besar-besaran pula menarik dananya dari perbankan untuk dialihkan pada bentuk-bentuk kekayaan yang lain berupa barang, emas, tanah, investasi lngsung dan sebagainya. Akibat bank runs ini dapat menyebabkan krisis likuiditas perbankan yang bisa mengakibatkan kepailitan atau kebangkrutan bank. Akibat dari kebangkrutan ini adalah merugikan masyarakat dan beban bagi pemerintah yang cukup berat.

2.1.5 Credit Crunch

Fenomena credit crunch terjadi dalam perbankan Indonesia dengan terkendalanya penyaluran kredit, khususnya pada periode awal terjadinya krisis. Credit crunch merupakan fenomena terjadinya ketidakseimbangan (disequillibrium) di pasar kredit yang disebabkan oleh faktor-faktor di sisi penawaran kredit perbankan, sisi permintaan dari debitur, ataupun kondisi ekonomi dan moneter yang berpengaruh terhadap penyaluran kredit perbankan, khususnya kebijakan moneter.( Perry Warjiyo, 2007) Kebijakan moneter berdampak pada pasar kredit melalui pengaruhnya terhadap pembentukan ekspektasi perbankan maupun debitur atas arah pergerakan variabel-variabel seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar, dan suku bunga dalam menganalisis permintaan kredit.

Dalam rumusan kebijakan adalah penting untuk memahami fenomena credit crunch, jika muncul. Kenyataannya penawaran agregat dari kredit tidak dapat menurun dengan sendirinya, implikasinya adalah terjadi credit crunch. Secara simultan mengalami penurunan besar-besaran dalam permintaan yang merespon penurunan permintaan untuk produksi perusahaan, sepertinya, penetapan atau penentuan tingkat bunga, ekses penawaran, lebih dari penurunan kredit. Jika , meskipun , ekses permintaan dari kredit, yang mengukur kenaikan likuiditas cadangan dan dapat juga berdampak pada rendahnya tingkat bunga. ( Dominique Dwor-Frecaut; Mary Hallward-Driemeier; Francis X. Colaço, 1999)

Secara makro credit crunch dapat menghambat pertumbuhan ekonomi mengingat sumber pembiayaan dunia usaha sangat tergantung pada kredit perbankan. Credit crunch yang terus berlangsung akan dapat memberikan second round effect (efek babak kedua) pada krisis dunia usaha, yang akan memperburuk pinjaman bank dan resiko terjadinya krisis keuangan baru. Bagi kepentingan pengendalian moneter credit crunch memiliki efektivitas pengendalian moneter karena respon perbankan dalam mentransmisikan pengaruh sinyal kebijakan moneter terhadap berbagai aktivitas keuangan dan ekonomi tidak seperti yang diharapkan bank sentral.

Kenyataanya rasionalisasi dari kredit oleh perbankan juga tidaklah mudah dimengerti tentang credit crunch. Sepertinya rasionalisasi memungkinkan reflect banks tidak menginginkan untuk memberikan pinjaman, sebab mereka tidak memiliki cukup modal dengan sebagain besar portofolio mengalami kredit macet. Dalam banyak kasus, ekpansi likuiditas tidaklah menjadi jawaban. Yang hanya memiliki efek yang mempengaruhi perbankan untuk melebarkan portofolio tabungan mereka. Memperburuk permasalahan mereka dalam kecukupan modal. Yang akan menyebabkan kebutuhan jangka panjang dalam menghitung restrukturisasi perbankan yang disebut dengan krisis. Kemungkinan, meskipun ketika tingkat suku bunga tinggi, dimana pilihan hati-hati dan persepsi atau pemahaman yang tepat dari lembaga penjamin resiko pinjaman. Yang dapat melahirkan keduanya, sebab informasi yang tidak sempurna tentang kebenaran kualitas perusahaan dan proyek atau ketepatan dalam kehati-hatian mengambil resiko dari lembaga peminjaman. Dalam banyak kasus, perbaikan dalam keterbukaan dan ketepatan informasi, melalui perbaikan akuntansi dan auditing, dapat memperkecil munculnya resiko. Juga perbaikan perusahaan, seperti perubahan pembenahan hukum dari kebankrutan dan kepailitan, dan merger serta akuisisi, dapat memfasilitasi perbaikan perusahaan dan restrukturiasi perbankan.

Fernomena credit crunch ditegaskan oleh Perry Warjiyo (2007) adalah mempunyai dua implikasi yang sangat penting bagi kebijakan moneter. Seperti berikut ;

1. Efektivitas kebijakan moneter menjadi terkendala karena tidak berjalannya mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui perbankan. Hal ini terutama disebabkan karena penyaluran kredit perbankan tidak banyak ditentukan oleh pergerakan suku bunga akan tetapi lebih didorong oleh faktor-faktor seperti pilihan yang hati-hati dan resiko dunia usaha.

2. Dalam kondisi lemahnya keuangan perusahaan, pengaruh kebijakan moneter dapat bersifat asimetris.

Credit crunch akan menghambat investasi yang pada akhirnya akan mengakibatkan terganggunya sumber pendapatan nasional dan bisa mengakibatkan terganggunya pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Karena kontraksi yang tidak wajar dari moneter akan mengakibatkan kerugian pemerintah, karena dana yang mandek ini lebih banyak disimpan di Bank Indonesia, yaitu dalam bentuk SBI yang dapat menyebabkan beban bagi pembayaran bunga SBI, sebesar tingkat bunga yang ditentukan.

2.1.6 Dampak Kebijakan Moneter yang Asimetri

Pasca krisis kondisi perbankan dan swasta masih relatif lemah, kebijakan moneter yang kontraktif dan ekspansif memiliki dampak asimetris. Kebijakan yang ekspansi tidak banyak berdampak pada sektor riil karena bank tidak merespon dengan menurunkan suku bunga kredit untuk mendorong investasi. Namun kebijakan moneter yang kontraktif relatif lebih kuat mempengaruhi penurunan kredit bank dan kenaikan suku bunga kredit sehingga lebih kuat dampaknya pada sektor riil. Selain itu, dengan kondisi struktur finansial yang lemah, pengetatan kebijakan moneter juga mengakibatkan dampak pelemahan berganda, tidak hanya mengakibatkan biaya modal semakin tinggi, tetapi juga berdampak pada kondisi cash flow sektor korporasi. Semakin bergandanya dampak kebijakan moneter pada sektor riil, disebut dengan fenomena akselerator. Implikasinya, kebijakan moneter yang kontraktif perlu dilakukan lebih berhati-hati terutama dalam fase pemulihan mengingat dampaknya pada kontraksi perekonomian seringkali lebih besar dari yang diperkirakan.

2.1.7 Model Bernanke-Blinder

Kurva LM dalam kondisi keseimbangan portofolio untuk dua aset kepemilikan dalam memilih memegang uang atau obligasi. Model Bernanke-Blinder memiliki 3 aset yaitu uang, obligasi, dan pinjaman(kredit). Hanya pasar kredit membutuhkan penjelasan lebih dalam.Asumsinya bahwa antara penabung dan peminjam memilih antara obligasi dan kredit melalui besarnya suku bunga dalam dua instrumen kredit. Jika ρ adalah suku bunga kredit dan i adalah suku bunga obligasi, maka permintaan kredit adalah Ld=L(ρ,i.y) tergantung pada GNP (y) menangkap transaksi permintaan dari kredit meningkat, untuk modal kerja atau pertimbangan likuiditas.

Untuk memahami asal usul dari penawaran kredit menganggap neraca bank secara sederhana seperti berikut :

Assets

Liabities

Reserve (R)

Deposite (D)

Bonds (BD)

Loans (LS)

Sejak cadandan (Reserve) terdiri dari RR (Requered Reserves) ditambah ER (excess Reserve), bank terpaksa menaikkan dalam : BD+LS+ ER = D(1-RR). Asumsinya bahwa keinginan pembagian portofolio tergantung pada tingkat pendapatan dari aset yang dimiliki/tersedia ( untuk ER = 0), fungsi penawaran kredit adalah

LS = λ (ρ,i)D(1-RR) (2.1)

Tingkat bunga kredit (ρ) bertanda negatif, dan tingkat bunga obligasi (i) bertanda positif, dengan persamaan yang sama untuk membagi Bb dan ER. Kondisi tersebut untuk lebih jelasnya dalam pasar kredit adalah :

L(ρ,i,y) = λ(ρ,i) D (1-RR) (2.2)

Permintaan uang dibambarkan dalam kurva kurva LM konfensional, Andaikata bank memegang persamaan dalam ε(i)D(1-RR). Bahwa penawaran deposito adalah sama dengan cadangan (R), waktu pengganda uang berupa :

m(i) = (ε(i)(1-RR)+RR))-1 (2.3)

Permintaan deposito meningkat dari motif transaksi dan menggantungkan pada suku bunga, pendapatan, dan total kekayaan, D(i,y), dalam persamaan berikut :

D(i,y+) = m(i+) R (2.4)

Secara tersirat, D(i,y) dan L(ρ,i,y) menentukan fungsi permintaan masyarakat bukan untuk obligasi adalah permintaan uang di tambah permintaan obligasi dikurangi permintaan kredit harus sama dengan total kekayaan finansial.

Pasar uang dalam kurva IS, umumnya dituliskan sebagai berikut :

Y = Y(i,ρ) (2.5)

Dengan mengambil persamaan (2.4) menganti D(1-RR) ke samping kanan dari persamaan (2.3) dengan (1-RR)m(i)R. Bahwa persamaan (2.3) dapat diselesaikan untuk ρ seperti fungsi dari i,y, R.

Ρ = Φ(i+,y+,R) (2.6)

Akhirnya mengubah persamaan (2.6) ke dlam persamaan (2.5) diperoleh fungsi :

Y = (i, Φ(i,y, R)) (2.7)

Persamaan 2.7 dalam tulisan Don Patinkin (1956) disebut kurva CC (untuk pasar komositas dan kredit .

Kurva CC memiliki kemiringan negatif seperti kurva IS. Meskipun kebijakan moneter (R) dan gejolak pasar uang berdampak pada L atau λ. Kurva CC mereduksi dari kurva IS jika pinjaman dan obligasi diasumsikan tersustitusi sempurna untuk peminjam atau kreditur, atau jika permintaan komoditi tidak sensitif untuk tingkat pinjaman (Yρ=0) yang membuat psasr kredit tidak relevan untuk IS/LM. Penjelasan khusus berasumsi secara implisit hanya dalam jalur uang saja.

Perbandingan secara ekstrim atau hanya jalur kredit saja, akan naik jika uang dan obligasi bersubstitusi sempurna, akan membentuk kurva LM horisontal. Keynes menjelaskannya dengan apa yang dinamakan liquidity trap (jebakan likuiditas). Kemampuan bersubstitusi yang tinggi lebih seperti menaikkan dari inovasi keuangan dengan menciptakan pergantian uang baru. Meskipun, kejadian seperti jebakan likuiditas tersebut, kebijakan moneter sangat penting, sebab dapat mempengaruhi kurva CC.

Kurva LM dan CC dapat digambarkan sebagai berikut :

G

i

ambar 2.1

Kurva LM dan Kredit

LM

CC

Y

0

Sumber: Bernanke- Blinder (1988), dalam Money, Credit and Aggregat Demand

2.1.8 Model Impiris Bernanke-Blinder

Menggunakan data time series drai tahun 1974 Kuartal I sampai dengan 1985 kuartal IV Bernanke-Blinder melakukan perbandingan antara fungsi Permintaan Uang/Penawaran Uang dengan Kredit ke dalam model. Menggunakan PAM (Partial Adjustedment Model) untuk persamaan permintaan uang. Fungsi permintaan uang adalah f(i, P, Y), sedangkan fungsi kredit adalah f( i, P, Y, ρ) dengan menggunakan fungsi log dalam tiap persamaan. Persamaan tersebut adalah :

logM = α0 + α1 logM-1 + α2 log i + α3 logP + α4 log Y (2.8)

logC = β0 + β1 logC-1 + β2 log i + β3 log ρ + β4 log P + β5 log Y (2.9)

Dimana : M = Money Stock

C = Kredit

M-1 = Money Stock satu periode sebelumnya.

C-1 = Kredit satu periode sebelumnya.

i = tingkat suku bunga Treasury bill tiga bulan.

r = tingkat bunga bank umum.

P = GNP Deflator.

Y = GNP riel.

Hasilnya adalah tidak ada variabel independen yang mempengaruhi secara signifikan dengan derajat kesalahan 5 persen, dan masing-masing variabel M-1, i, P dan Y hanya mempengaruhi secara signifikan M pada derajat kesalahan 10 persen. Artinya persamaan konsisten dengan teori pada derajat kesalahan 10 persen. Variabel C-1 dan P mempengaruhi C dengan derajat kesalahan 10 persen, sedang i dan ρ tidak signifikan pada derajat kesalahan 10 persen. Tanda tetap konsisten dengan teori.

Membangi data dalam dua sub periode yaitu 1974:1 sampai dengan 1979:3 dan 1979:4 sampai 1985:4 diperolehlah perbedaan variance residual antara M dan Kredit, sebagai berikut :

Periode 1974:1 s/d 1979:4 variance residual kredit < Uang (Money) dan 1979:3 s/d 1985:4 variance residual kredit > uang (Money). Perbedaan dari variance residual tidak cukup berarti ( ditunjukkan dengan pangkat yang sama dari pembilang).

Pembenahan masalah penawaran uang lebih dominan dari kredit sebelum sebelum 1980. Tetapi setelah 1980 pembenahan lebih dominan memfokuskan kredit. Keterangan lebih lanjut bahwa model Bernanke-Blinder (1998) ini tidak menjelaskan lebih dalam arti perbedaan yang berarti.

2.1.9 Pengunaan M1 sebagai variabel M (Penawaran Uang)

Konsep uang memegang peranan yang sangat penting dalam analisis makro ekonomi. (Insukindro, 2003) Konsep uang dapat dibagi dalam empat kelompok :

  1. Uang sebagai media pertukaran (Johnson, 1962) yang berupa uang kartal ditambah uang giral.

  2. Alat penyimpan daya beli sementara (Newton Friedman) Yaitu uang kartal ditambah semua deposito yang ada di bank umum.

  3. Semua besaran ekonmi yang dapat menambah likuiditas masyarakat. (Komite Radcliffe) yaitu uang tidak hanya dalam arti sempit yang terdiri dari uang kartal dan uang giral, tetapi harus mencakup semua aktiva keuangan lain yang mempunyai kemampuan sebagai substitusi uang.

  4. Devinisi uang yang relevan seharusnya mencakup semua bentuk uang termasuk semua pasiva yang diterbitkan oleh lembaga keuangan bukan bank, selain uang yang dietrbitkan oleh bank.(Gurley and Shaw)

Sampai saat ini ada 3 konsep uang yang berlaku di Indonesia (Insukindro,2003) yaitu :

  1. Uang Primer (M0) yang merupakan kewajiban moneter dari otoritas moneter yang terdiri dari uang kartal yang dipegang masyarakat, kas bank, giro bank, dan giro perusahaan atau perseorangan.

  2. Uang dalam arti sempit (M1) yang merupakan kewajiban moneter dari sistem moneter kepada masyarakat yang terdiri dari uang kartal dan uang giral.

  3. Uang dalam arti luas (M2) yang merupakan kewajiban moneter dari sistem moneter kepada masyarakat yang terdiri atas M1 dan kuasi (tabungan dan deposito baik dalam rupiah dan valuta asing).

Monetery Base (M0) atau uang inti adalah hasil daripada penjumlahan uang Kartal (C) ditambah Cadangan (R), dapat dibangun persamaan yang berkaitan dengan jumlah uang inti dalam tingkat dari deposito yang dapat diuangkan (Checkable Deposite) dan uang kartal dengan menambahkan uang kartal untuk dua sisi dari persamaan :

(2.12)

Jalan lain untuk berpikir tentang persamaan di atas adalah terdiri dari sejumlah uang inti yang diperlukan untuk mendukung jumlah yang ada dari chekable deposits , uang kartal, dan excess resserves.(Frederic S. Miskhin, 2001)

Uang dalam arti sempit atau M1 adalah merupakan penjumlahan dari uang kartal dan uang giral, dirumuskan dengan persamaan :

(2.13)

Dimana M1 adalah uang inti, C uang kartal dan D adalah Demand Deposits atau Giro.

Uang dalam arti luas atau M2 didefinisikan dalam persamaan sebagai berikut :

(2.14)

Dimana : C adalah uang kartal yang beredar, D adalah chekable deposits, T adalah time and saving deposits, MMF adalah uang primer di pasar mutual fund shares dan money market deposits account, ditambah overnight agreement dan Overnights Eurodollars. (Frederic S. Miskhin, 2001)

Namun di Indonesia penggunaan M1 masih tetap relevan sebagai dasar untuk menjadi indikator Jumlah Uang Beredar, oleh karena itu penggunaan M1 lebih diutamakan daripada M0 dan M2 dalam model Bernake-Blinder di Indonesia dalam penelitian ini.

2.1.10 Pengunaan Variabel Kredit sebagai Variabel Eksogen Model.

Kredit adalah pinjaman dari kreditur dalam hal ini perbankan pada debitur yang berupa kredit tertentu untu keperluan Investasi, Modal Kerja dan Konsumsi, dapat untuk membiayai perusahaan, ekspor dan impor, baik berupa valas maupun rupiah, dengan membayar biaya berupa bunga tertentu yaitu tingkat bunga kredit. (HLB Hadori dan Bank Indonesia, 2002)

Jika dikaitkan dengan tingkat bunga yang berlaku, terjadi suatu anomali yang pada kenyataannya kredit investasi dalam bentuk rupiah akan meningkat seiring dengan peningkatan suku bunga, sebaliknya akan menurun seiring dengan penurunan suku bunga. (HLB Hadori dan rekan, 2002)

Kredit modal kerja yang merupakan jenis kredit yang paling dominan, mengindikasikan nilai relatif konstan dalam satuan dollar. Kemungkinan besar digunakan untuk membiayai impor. Sedangkan kredit rupiah mengalami penurunan terus menerus akibat dari ketakutan perbankan terhadap kredit macet karena tingginya NPL (Non Performance Loans). (HLB Hadori, 2002)

Sedangkan kredit konsumsi dipengaruhi oleh peningkatan tingkat pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan dengan kenaikan PDB, karena kredit konsumsi membutuhkan jaminan yang mapan untuk menjadikan jaminan agar kredit tidak macet.

2.1. 11 Sasaran Kebijakan Moneter

Secara umum tujuan atau sasaran kebijakan moneter tidak jauh berbeda dengan kebijakan makro ekonomi lainnya. Bahwa sasaran kebijakan moneter adalah :

  1. tersedianya kesempatan kerja yang tinggi,

  2. pertumbuhan ekonomi, kestabilan harga,

  3. kestabilan suku bunga,

  4. kestabilan pasar keuangan dan

  5. kestabilan pasar valuta asing. (Miskhin, 2001)

Ketiga sasaran yang disebut pertama dan keseimbangan neraca pembayaran sering disebut sebagai sasaran akhir yang di dalam mencapainya perlu sasaran antara dan sasaran kerja. Idelanya semua sasaran itu dapat dicapai secara bersamaan , tetapi sering kali pencapaiannya mengandung unsur-unsur yang kontradiksi atau tumpang tindih, sehingga perlu disadari perlunya kebijakan moneter dengan sasaran tunggal.(Insukindro, 2003)

Untuk sasaran moneter di kuantitas di Indonesia,

  1. sasaran operasional yang digunakan terutama uang primer (M0) dan

  2. sasaran antaranya adalah M1 dan M2 sesuai dengan konsep uang yang berlaku di Indonesia.

Perangkat kebijakan yang sering digunakan adalah operasi pasar terbuka melalui lelang SBI (Sertifikat Bank Indonesia), dan intervensi baik ke pasar uang rupiah maupun pasar valuta asing (Solikin, 2003). Melalui lelang SBI mingguan diharapkan sasaran M0 dapat tercapai. Selanjutnya, jika seandainya terjadi perkembangan yang tidak terduga yang memungkinkan tidak tercapainya sasaran M0, BI akan melakukan intervensi langsung di pasar uang, antara lain melalui pembelian kembali SBI dan menawarkan pada bank-bank umum untuk menannamkan kembali likuiditasnya di BI. Intervensi di pasar uang atau pasar valas juga dimaksudkan untuk menyerap kelabihan likuiditas karena ekspansi fiskal dan sekaligus untuk menjaga kestabilan nilai rupiah. (Insukindro, 2003)

Namun demikian, keberhasilan kebijakan kuantitas uang ini ditentukan oleh stabilitas besaran moneter, permintaan uang, velositas uang dan angka pengganda uang. Dengan kata lain, penaksiran terhadap perilaku masyarakat di pasar uang menjadi penting karena akan menentukan efektifitas kebijakan moneter. Jika permintaan uang tidak stabil pengaruh kebijakan moneter terhadap keseimbangan ekonomi juga tidak mudah diprediksi. Jika ketidak stabilan ini terjadi maka harus dicarikan solusinya, baik melalui perbaikan mode ekonomi moneter atau melalui kebijakan moneter pendekatan harga sepetrti melalui target inflasi dan kurs. (Insukindro, 2003)

2.2 Beberapa Penelitian Sebelumnya

Hasil Riset dan Penelitian yang dilakukan oleh Bank Indonesiapada tahun 2002 menggunakan Quantum Channel dengan variabel MB, M1, M2, Kredit sebagai variabel dependen dengan persamaan simultan yang dikaitkan dengan pengaruh variabel suku bunga obligasi, suku bunga kredit, variabel dependen periode sebelumnya, inflasi, dan PDB sebagai variabel independen, menunjuk Konsultan HLB Hadori dan rekan, bekerjasama dengan Law Office Suhandjono and Assosiates, Internasional Development Advisory Group Canada dan PT Grant Thoronto Indonesia telah menghasilkan kesimpulan yang dituangkan dalam buku yang berjudul “Studi Ekonomi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia” menghasilkan kesimpulan bahwa antara uang dan kredit relatif memiliki varians residual yang hampir sama. Secara umum, jika definisi uang beredar relatif mangacu pada M1 maka fluktuasi dari M1 lebih besar (1990-2000). Jika periodisasi dipecah menjadi dua sub-periode sebelum dan sesudah krisis (sebagai acuan, awal krisis dimulai dari regional financial krisis sejak September 1997, terlihat bahwa sebelum krisis fluktuasi uang (baik dalam bentuk M1, M2 maupun M0) lebih besar dari kredit. Namun jika dilihat sesudah krisis, volatilitas kredit jauh lebih besar dibanding M0, M1, dan M2. Hal ini sangat logis sebab pergerakan kredit yang tergantung dari sektor riil jauh lebih sulit penyesuaiannya dibandingkan jumlah uang beredar dimana otoritas moneter bisa mengontrolnya lebih mudah. Jalur kredit jauh lebih dominan dalam stabilisasi mekanisme transmisi pada periode sebelum krisis. Sehingga perhatian dan penanganan terhadap kredit jauh lebih signifikan, termasuk antisipasi terjadinya kegagalan intermediasi pada jalur ini.

Penelitian tersebut menggunakan data time series dengan menggunakan data kuartalan dari tahun 1990 kuartal pertama sampai dengan tahun 2000 kuartal ke-4.

Penelitian yang dilakukan oleh Charles S. Morris dan Gordon H. Sellon Jr. (2002) dalam ”Pinjaman Bank dan kebijakan moneter dari Federal Reserves Bank of Kansas City” dengan data time series dari tahun 1977 sampai dengan tahun 1997 dalam kuartalan menyimpulkan bahwa para debitur bergantung dari kredit bank atau pinjaman bank yang digerakkan oleh kebijakan moneter. Pinjaman dipengaruhi oleh kebijakan moneter.

Penelitian dengan menggunakan data time series tahun 1990-2002 secara kuartalan diambil dari data perkembangan moneter di Chili oleh Rodrigo Alfaro, Carlos Garcia dan Alejandro Jara, dari Bank Sentral Chili dan Helmut Franken dari IMF, menganalisis jalur kredit dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter di Chili pada tahun 1990-2002, dengan dua metodologi yaitu :

  1. Panel Bank Data, dengan mengggunakan panel data dari bank dapat mengidentifikasi kurva penawaran kredit dalam merespon perubahan kebijakan moneter. Membuktikan tentang ketergantungan dan dampak yang signifikan dari pendapatan agregat.

  2. VAR sistem yang memasukkan proxy agregat dari pinjaman Bank. Jalur pinjaman bank memiliki ketergantungan dan dampak yang signifikan dari pendapatan agregat.

Kesimpulannya adalah bank lending channel menggerakkan kebijakan moneter dalam mekanisme transmisi di Chile dengan dipengaruhi oleh variabel pertumbuhan kredit, pertumbuhan GDP riil, RER devaluation , lag kredit, likuiditas, ukuran perusahaan, besarnya Kapitaliasi.

Penelitian yang dilakukan Iskandar Simorangkir (2003) dari Pusat Studi Bank Indonesia, menyimpulkan bahwa proses krisis perbankan di Indonesia juga telah memberikan dampak negatif pada perekonomian nasional. Krisis perbankan menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan kontraksi ekonomi yang dalam. Bank runs dan krisis perbankan yang pada awalnya merupakan permasalahan liquiditas telah berkembang menjadi permasalahan solvabilitas. Kerugian yang dialami bank akibat krisis telah menggerogoti permodalan bank dan membuat banyak kondisi bank menjadi tidak sehat. Selanjutnya, kondisi bank yang tidak sehat telah mengganggu fungsi intermediasi perbankan. Dengan terhambatnya fungsi Intermediasi, maka sumber pembiayaan kegiatan usaha melalui melalui jalur kredit yang berasal dari perbankan menjadi berkurang sehinga pemulihan ekonomi menjadi terhambat.

Peran likuiditas dan pertumbuhan kredit sangat berpengaruh dalam bank runs, sedangkan pertumbuhan kredit yang terlalu pesat mengakibatkan terbatasnya likuiditas yang tersedia..

Penelitian tersebut menggunakan data sekunder dari Bank Indonesia. Data yang digunakan adalah panel data bulanan dari 44 bank swasta non devisa, 14 Bank Devisa, 19 bank beku kegiatan usaha, dan 8 bank beku operasi. Variabel yang digunakan adalah pertumbuhan dana pihak ketiga, liquiditas dan pertumbuhan kredit.

Penelitian yang dilakukan oleh Jean Bolvin dan March Giannoni (2002) dengan mengunakan data kuartalan dari tahun 1963-1997, menggunakan model Vector Autoregresif (VAR). Menyimpulkan bahwa kebijakan moneter mampu mempengaruhi output dan inflasi dengan kebijakan tekanan moneter.

Oscar Sanches (2001) di Meksiko meneliti data series dari tahun 1990-2001 dan menerangkan adanya informasi dari pasar kredit yang tidak sempurna dalam transmisi kebijakan moneter di Meksiko. Dengan menggunakan variabel Investasi, Capital Stock, Kas Flow, Selisih dalam perdagangan, dan indeks harga.

Kenyataan membuktikan tingkat suku bunga elastis terhadap investasi dalam berbagai macam episode yang dikarakteristiksasikan oleh evolusi dari credit market di Meksiko.

Doddy Zulverdi, Iman Gunadi , and Bambang Pramono (2006) meneliti tentang ” Bank Portfolio Model and Monetary Policy in Indonesia ” dengan menggunakan data bulanan dari tahun 1996 sampai dengan 2004, menyimpulkan bahwa perubahan struktural dalam bank dan debitur mengikuti perubahan dalam kebijakan transmisi moneter. Dengan menggunakan variabel independen Estimated Indicators of Effectiveness of Monetary Transmission (dL/drS, drL/drS, d(rL – rD)/drS) Banks’ Internal Default Risks (CAR, NPL),.Demand for Loan , Supply of Time Deposit , Monetary Policy ((Policy Rates (rS) , Reserve Requirements (rD) ). Menyimpulkan bahwa perubahan struktural dalam pinjaman bank mempengaruhi perubahan transmisi kebijakan moneter.

Fajar Bambang Hirawan, telah membuat kesimpulan di dalam Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Endonesia, Vol. VII. No.2, yang diterbitkan di Bulan Januarin 2007, dalam Penelitian dengan judul , “Efektivitas Quantum Channel dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter : Studi Kasus Tahun 1993-2005” yang terbagi dalam tiga fase sebagai berikut:

  1. Pada masa sebelum krisis (1993-1996)

Dalam hal stabilitas, quantum channel yang lebih stabil dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter adalah jalur kredit. Hal ini disebabkan karena fluktuasi atau volatilitas dari volume kredit lebih kecil dibandingkan uang beredar (M2), sehingga perhatian dan penanganan terhadap volume kredit lebih signifikan, termasuk penanganan terhadap disintemediasi. Dengan lebih stabilnya volume kredit tersebut, maka jalur kredit lebih efektif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Selain didorong oleh pertumbuhan kredit, pertumbuhan ekonomi juga didorong oleh pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan investasi.

  1. Pada masa krisis (1997-2001)

Dalam hal stabilitas, quantum channel yang lebih stabil dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter adalah jalur uang. Hal ini disebabkan karena fluktuasi atau volatilitas dari uang beredar (M2) lebih kecil dibandingkan dengan volume kredit, sehingga perhatian dalam penanganan terhadap uang beredar lebih signifikan, apalagi bank sentral lebih mudah dalam mengontrol uang beredar. Tingginya volatilitas volume kredit juga disebabkan karena fenomena credit crunch yang terjadi pada masa krisis (1997-2001). Meskipun uang beredar lebih stabil daripada volume kredit, akan tetapi jalur uang tidak efektif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, sehingga pada masa krisis, quantum channel tidak efektif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi pada masa krisis disinyalir digerakkan oleh pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan belanja pemerintah.

  1. Pada masa setelah krisis (2002-2005)

Dalam hal stabilitas, quantum channel yang lebih stabil dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter adalah jalur kredit. Hal ini disebabkan oleh fluktuasi atau volatilitas volume kredit lebih kecil dibandingkan fluktuasi atau volatilitas uang beredar(M2), sehingga perhatian dan penanganan terhadap volume kredit lebih signifikan, termasuk antisipasi apabila terjadi disintemediasi. Meskipun volume kredit lebih stabil dibandingkan uang beredar, akan tetapi jalur kredit tidak cukup efektif di dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, sehingga dapat dikatakan pula bahwa pada masa setelah krisis, quantum channel tidak efektif di dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi pada masa setelah krisis disinyalir digerakkan oleh pertumbuhan konsumsi pemerintah (government expenditure) dan investasi.

Penelitian ini dengan menggunakan data time series dari tahun 1993 bulan Januari sampai dengan tahun 2005 bulan Desember. Dengan Jumlah uang beredar diwakili oleh M2, jumlah kredit diwakili oleh total kredit domestic dan data indeks produksi berdasarkan harga konstan tahun 2000, yang diperolek dari CEIC database, Badan Pusat Statistik (BPS) dan statistic yang dikeluarkan Bank Indonesia.

Menggunakan data time series drai tahun 1974 Kuartal I sampai dengan 1985 kuartal IV Bernanke-Blinder melakukan perbandingan antara fungsi Permintaan Uang/Penawaran Uang dengan Kredit ke dalam model. Menggunakan PAM (Partial Adjustedment Model) untuk persamaan permintaan uang. Fungsi permintaan uang adalah f(i, P, Y), sedangkan fungsi kredit adalah f( i, P, Y, ρ) dengan menggunakan fungsi log dalam tiap persamaan.

Membangi data dalam dua sub periode yaitu 1974:1 sampai dengan 1979:3 dan 1979:4 sampai 1985:4 diperolehlah perbedaan variance residual antara M dan Kredit, sebagai berikut :

Periode 1974:1 s/d 1979:4 variance residual kredit < Uang (Money) dan 1979:3 s/d 1985:4 variance residual kredit > uang (Money). Perbedaan dari variance residual tidak cukup berarti .

Pembenahan masalah penawaran uang lebih dominan dari kredit sebelum sebelum 1980. Tetapi setelah 1980 pembenahan lebih dominan memfokuskan kredit.

2.3 Kerangka Pemikiran Teoritis

Kebijakan uang beredar merupakan kebijakan pengendalian jumlah uang beredar, dimana bank Indonesia mengeluarkan instrumen kebijakan moneter guna mengendalikan jumlah uang beredar. Kebijakan moneter yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia direspon oleh masyarakat sesuai dengan tingkat pendapatan (PDB) dan suku bunga SBI (i) dan inflasi.

Di sisi lain bank umum sebagai lembaga intermediasi mengeluarkan kebijakan suku bunga kredit perbankan untuk melakukan penawaran kredit, diikuti dengan permintaan kredit (L). Permintaan kredit dipengaruhi pendapatan (PDB), tingkat suku bunga SBI sebagai portopolio kredit dan perubahan tingkat harga-harga di masyarakat (inflasi).

Kredit diharapkan akan menciptakan investasi di sektor riil sehingga meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Ditunjukkan dengan peningkatan pendapatan (PDB) dengan tingkat inflasi tertentu.

Kerangka pemikiran teoritisnya dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut :

Gambar 2.2

Stabilitas Jalur Jumlah Uang Beredar dan Kredit dalam Intermediasi di Indonesia

Ms

Kredit(L)

PDB

Inflasi

Variance Residual

Ms (VMs)

Variance Residual

Kredit

(VL)

Ditolak

VMs<VL

(Penawaran Uang Lebih Efektif/Dominan

Meningkatkan PDB)

Ditolak

VMs>VL

(Kredit Lebih Efektif/Dominan

Meningkatkan PDB)

Pertumbuhan Ekonomi (PDB)

Keterangan : = menunjukkan hasil

= menunjukkan pengaruh

Kerangka pemikiran tersebut di atas juga dapat digambarkan dalam mekanisme transmisi sebagai berikut :

Model Quantum Channel dengan menggunakan jalur Jumlah Uang Beredar ( M1)dan Kredit (L). Fungsi Jumlah Uang beredar adalah M1t= f(rt , PDBt , M1t-1), dan Fungsi Kredit adalah (L)t =f(r , PDBt , Kredit(L)t-1, it ). Dari hasil persamaan dengan regresi OLS (Ordinary Least Square) dihasilkan variance residual dari masing-masing fungsi JUB dan Kredit. Kemudian dibandingkan variance residual-nya. Bila variance residual M1 < variance residual kredit berarti Jumlah Uang Beredar lebih efektif dalam meningkatkan PDB, sebaliknya jika Bila variance residual Kredit < variance residual M1 berarti Kredit lebih efektif dalam meningkatkan PDB,

2.4 HIPOTESIS

Hipotesis dalam penelitian ini adalah :

  1. Terdapat pengaruh positif antara lag satu periode sebelum Jumlah Uang beredar (M1) dengan Jumlah Uang Beredar (M1).

  2. Terdapat pengaruh negatif antara tingkat bunga SBI (i) terhadap Jumlah Uang Beredar(M1) .

  3. Terdapat pengaruh positif pertumbuhan Pendapatan (Y) terhadap Jumlah Uang Beredar (M1).

  4. Terdapat pengaruh positif pertumbuhan Harga (inflasi) terhadap Jumlah Uang Beredar (M1).

  5. Terdapat pengaruh positif antara lag satu periode sebelum permintaan kredit (L) dengan permintaan kredit (L) .

  6. Terdapat pengaruh negatif antara tingkat bunga SBI (i) terhadap permintaan kredit.

  7. Terdapat pengaruh negatif perubahan suku bunga kredit (ρ) terhadap permintaan kredit.

  8. Terdapat pengaruh positif pertumbuhan Inflasi (Y) terhadap Kredit

  9. Sebelum krisis moneter variance residual Kredit (L) < variance residual Jumlah Uang Beredar (M1) .

  10. Sesudah krisis moneter variance residual Kredit (L) > variance residual Jumlah Uang Beredar (M1) .

  11. Sebelum dan sesudah krisis moneter variance residual Kredit (L) > variance residual Jumlah Uang Beredar (M1).

BAB III.

METODE PENELITIAN

3.1 Definisi Operasional

Data-data yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dalam statistik Bank Indonesia dianggap cukup memberikan representasi dalam menganalisis tentang Jalur Mekanisme Transmisi dengan pendekatan Quantum Channel. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

3.1.1 Variabel Dependen/Eksogen

3.1.1.1 Variabel Jumlah Uang Beredar/Besaran Moneter (M1)

Jumlah uang beredar (M1) sebagai variabel dependen, dalam bentuk logaritma untuk melihat efek pertumbuhan . Data yang digunakan diperoleh dari Bank Indonesia dengan satuan mata uang rupiah sebagai satuan besaran moneter.

3.1.1.2 Variabel Kredit (L)

Kredit atau (L) adalah permintaan kredit, berupa besarnya pinjaman dari masyarakat berupa kredit investasi dan modal kerja yang dikeluarkan oleh bank umum. Penggunaan logaritma dari Kredit adalah untuk melihat efek pertumbuhan kredit, seperti halnya dalam penggunaan bentuk logaritma dalam melihat pertumbuhan jumlah uang beredar. Sebagai satuannya adalah dalam rupiah.

3.1.2 Variabel Independen/Endogen

3.1.2.1 Varibel Lag Satu Periode sebelumnya dari Jumlah Uang Beredar

Varibel Lag satu periode sebelumnya dari Jumlah Uang Beredar (M1-1) adalah lag satu periode variabel dependen M1, sesuai dengan sifat data time series yang memiliki keterikatan erat antar waktu. Satuan yang digunakan adalah rupiah.

3.1.2.2 Varibel Lag Satu Periode sebelumnya dari Kredit

Varibel lag satu periode sebelumnya dari Kredit (L-1) adalah lag satu periode variabel dependen Kredit (L), sesuai dengan sifat data time series yang memiliki keterkaitan erat antar waktu. satuan dalam rupiah.

3.1.2.3 Variabel Suku Bunga SBI.

Variabel Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia adalah variabel independen sesuai dengan teori portfolio choice. Suku bunga dalam hal ini suku bunga SBI pada umumnya ditunjukkan dalam prosen karena merupakan rasio dari pendapatan bunga yang diperoleh terhadap besarnya nilai Sertifikat Bank Indonesia yang dimiliki oleh pemilik SBI. Tingkat bunga SBI yang digunakan adalah tingkat bunga bulanan.

3.1.2.4 Variabel Pendapatan (PDB)

Variabel Produk Domestik Bruto (PDB) yang merupakan proxy dari pendapatan (Y) dijadikan sebagai variabel independen, dimana PDB (Y) yang diambil adalah data Bank Indonesia berupa PDB Nominal (Y) dengan satuan yang digunakan dalam rupiah. Karena data PDB nerupakan data tahunan maka untuk diperoleh data triwulanan maka dilakukanlah teknik interpolasi. Interpolasi terhadap PDB dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

(3.1)

Qn= kuartal ke N

Yt= PDB pada tahun t

N = Jumlah kuartal

Q1= ¼ X 2/5Y = 1/10 Y

Q2 = 2/4 X 2/5Y = 1/5 Y

Q3 = ¾ X 2/5Y = 3/10 Y

Q4 = 4/4 X 2/5Y = 2/5 Y

Rumus diatas merupakan adopsi dari rumus interpolasi linear dengan rumus :

(3.2)

Dimana Y sama dengan garis ordinat dan X adalah absis dalam linier interpolasi.(M. Agus Choirun 2007).

3.1.2.5 Variabel Suku Bunga Kredit .

Suku bunga kredit investasi adalah suku bunga kredit atau pinjaman (loan) yang merupakan variabel independen sesuai dengan teori portfolio choice Seperti halnya suku bunga SBI suku bunga kredit riil ditampilkan dalam bentuk prosentase. Dan penggunaan suku bunga kredit (ρ) lebih tepat untuk menunjukkan bukti-bukti yang bisa lebih baik dalam persamaan regresi yang digunakan untuk menjelaskan permintaan kredit.

3.1.2.6 Variabel Inflasi

Seperti dalam model Bernanke-Blinder mengunakan variabel P berupa deflator GNP (Gross National Product), karena penggunaan log P adalah untuk mencari data inflasi (π), maka penggunaan invlasi dalam model lebih utama karena lebih mudah diperoleh dalam data statistik yang dibutuhkan. Karena Log P = Inflasi (π).

3.2 Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari Statistik keuangan Bank Indonesia dengan menggunakan beberapa media baik elektronik maupun media tulis berupa Web side BI.go.id maupun Laporan Bulanan, Triwulanan dan tahunan yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. Periodisasi data penelitian yang mencakup data periode tahun 1990 kwartal I sampai dengan kwartal IV tahun 2006 dipandang cukup mewakili sejauh mana pengaruh variable-variabel independent terhadap variable dependen. Data-data tersebut setelah diolah dan dianalis dengan menggunakan alat bantu komputasi yaitu dengan program Eviews 3, 4 atau 5. Model yang digunakan adalah model Bernanke-Blinder dengan menggunakan model Quantum Channel. Dengan menggunakan Variabel M1 dan Kredit(L) dengan Suku Bunga SBI(i), PDB atau Pendapatan (Y), suku bunga kredit (ρ) , dan inflasi (π), kemudian dari regresi OLS dari masing-masing fungsi M1 dan kredit (L) tersebut dibandingkan variance residual-nya diperoleh perbedaan yang menunjukkan seberapa besar dominasi antara besaran moneter dan kredit sebelum dan sesudah gejolak moneter tahun 1997 kuartal III, sehingga dapat diketahui efektifitas Quantum Channel..

Data yang diambil dan digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh data time series dari tahun 1990 kuartal I sampai dengan 2006 Kuartal IV. Jumlah sampel yang diambil adalah sama yaitu dengan jumlah N = 68. Dengan variable yang digunakan adalah variabel besaran moneter yang diwakili oleh (M1) serta variabel lain berupa Kredit (L) dan variabel tingkat bunga SBI (i), PDB (Y) dan tingkat bunga kredit (ρ).

Satuan untuk Y, M1, dan kredit (L) adalah Rupiah, sedangkan satuan untuk tingkat bunga SBI (i), dan tingkat bunga kredit (ρ) dan inflasi (π) dalam prosen. Karena memiliki satuan yang berbeda maka dilakukan log pada masing-masing variabel yang diperoleh untuk mendapatkan satuan yang sama karena akan melihat pertumbuhan dari masing-masing variabel.

3.3 Metode Pengumpulan Data

Data-data yang diperlukan tersebut dikumpulkan dengan melakukan non participant observation, yaitu melakukan down load situs www.bi.go.id , mencatat atau mengkopi data Laporan Keuangan Bank Indonesia baik mingguan, bulanan, triwulanan, atau tahunan yang merupakan financial report (laporan keuangan) dari literatur-literatur pendukung lainnya serta melakukan studi pustaka yang berkaitan dengan penelitian ini baik berkaitan dengan teori ekonomi makro, teori ekonomi moneter, perbankan maupun literatur berupa jurnal ilmiah dan teks book yang mendukung penelitian ini. . Selain itu sebagai referensi dibutuhkan studi puataka yang memadahi agar penelitian ini dapat berjakan sesuai dengan aturan metode ilmiah dalam ilmu ekonomi. Literatur bidang ekonomi sangat dibutuhkan terutama literarur yang mengkhususkan dalam bidang ekonomi moneter baik dalam bentuk jurnal, buku panduan dan sumber lain yang dapat diakui sebagai leteratur yang layak untu dijadikan acuan..

3.4 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data ini akan menganalisis secara ekonomi stabilitas Quantum channel dalam mekanisme transmisi. Oleh karena itu harus dibantu dengan model ekonometrik yang didukung dengan alat analisa matematika, statistika dan ekonomi. Alat analisis yang digunakan berguna mencari pembuktian hipotesis secara empiris.

3.4.1 Model Quantum Channel oleh Bernanke Blinder.

Pendekatan Quantum Channel Model Bernanke-Blinder di Indonesia dengan data yang diambil secara kuartalan dari tahun 1990 kuartal I sampai dengan 2006 kuartal IV. Model Quantum Channel adalah melakukan regresi pada variabel independen pada masing-masing model regresi berganda pada M1 dan Kredit (L). Model tersebut dapat dirumuskan persamaan sebagai berikut :

logM = α0 + α1 logM-1 + α2 log i + α3 π + α4 log Y (3.3)

logL = β0 + β1 logL-1 + β2 log i + β3 log ρ + β4 π + β5 log Y (3.4)

Dimana :

M1 = Uang dalam arti sempit

L = Kredit

Y = Produk Domestik Bruto/ Pendapatan nominal.

i = Suku bunga SBI.

ρ = Suku bunga kredit.

π = inflasi

Bernanke Blinder melakukan regresi dari masing-masing persamaan permintanan uang dan kredit dengan melakukan regresi persamaan OLS . Karena hasil regresi dengan OLS tetap konsisten dalam menghasilkan persamaan regresi, (HLB Hadori, 2002) maka untuk melakukan pengujian regresi dari variance residualnya (predicted error-nya) dilakukan pengujian dengan persamaan OLS (ordinery least square) atau persamaan kuadrat terkecil, dan dilakukan uji asumsi klasik yaitu uji multikolinearitas, uji autokorelasi dan uji heterokedastisitas, dengan derajat keyakinan 95% dengan uji statistik berupa besarnya koefisien dari konstanta dan varibel independen, uji F, besarnya R2 dan Uji t untuk melihat seberapa jauh variabel independen mempengaruhi variabel dipenden. Dan pengunaan OLS dapat dilakukan apabila persamaan tidak teridentifikasi simultan, karena pemakaian regresi OLS dalam perhitungan tetatp bersifat konsisiten. (Gujarati, 2002)

Persamaan OLS memiliki beberapa asumsi klasik yang perlu diuji validitasnya. Asumsi dasar tersebut adalah :

3.4.1.1 Uji Multikolinearitas

Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditemukan korelasi antar variabel bebas(independen). Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi di antara variabel bebas. Jika variabel bebas saling berkorelasi, maka variabel-variabel tidak ortogonal. Variabel ortogonal adalah variabel bebas yang nilai korelasi antar sesama variabel sama dengan nol. Untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinearitas di dalam model regresi, adalah (1) Nilai R2 yang dihasilkan oleh suatu estimasi model regresi empiris sangat tinggi, tetapi secara individual variabel-variabel bebas banyak yang tidak signifikan mempengaruhi variabel dependen (terikat),(2) Menganalisis matriks korelasi variabel-variabel bebas. Jika antara variabel bebas ada korelasi yang cukup tinggi (umumnya diatas 0,90) maka hal ini merupakan indikasi adanya multikolinearitas.

3.4.1.2 Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi bertujuan untuk mendeteksi apakah dalam suatu model regresi linear ada korelasi antara kesalahan-kesalahan pengganggu periode t dengan kesalahan t-1. Jika terjadi korelasi, maka dinamakan ada masalah autokorelasi. Autokorelasi muncul karena observasi yang berurutan sepanjang waktu berkaitan satu dengan yang lain. Uji Autokorelasi dengan melakukan Durbin Watson test dengan berbagai macam syarat dimana tidak terjadi autokorelasi bila :

  1. 0 < dw < dL terjadi autokorelasi positif.

  2. dL < dw < dU tidak ada autokorelasi positif

  3. 4 – dL < dw < 4 ada autokorelasi negatif

  4. 4 – dU < dw < 4 – dL tidak ada negatif korelasi

  5. dU < dw < 4 – dU tidak ada positif atau negatif autokorelasi.

Apabila terjadi autokorelasi maka dilakukan regres ulang dengan memasukkan unsur autoregresi dari variabel independen dalam model.

Durbin – Watson d test dapat dirumuskan sebagai berikut :

(3.5)

Dengan menyederhanakan rasio dari selisih jumlah kuadrat residual. d adalah durbin watson hitung.. υ adalah residual atau distrurbance error.

3.4.1.3 Uji Heterokedastisitas

Uji heterokedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain tetap, maka disebut homokedastisitas dan jika berbeda disebut heterokedastisitas. Model regresi dikatakan baik apabila tidak terjadi heterokedastisitas. Mendeteksi ada tidaknya heterokedastisitas dapat dilakukan dengan melihat ada tidaknya plot tertentu pada grafik scatterplot antara variabel terikat Z(pred) dengan residualnya (SRESID) dimana sumbu Y adalah Y yang terjadi telah diprediksi, sumbu X adalah residual(Y prediksi–Y sesungguhnya). Apabila pola pada grafik yang ditunjukkan dengan titik-titik membentuk suatu pola tertentu yang teratur, maka terjadi heterokedastisitas dan sebaliknya apabila titik-titik pada grafik tidak membentuk suatu pola tertentu maka tidak terjadi heterokedastisitas. Uji White dapat dilakukan untuk melihat apakah terjadi heterokedastisitas. Dan apabila X2 (Chi-Kuadrat) hitung lebih lebih kecil dari X2(Chi-Kuadrat)tabel berarti tidak terjadi heterokedastisitas.

Persamaan dari Uji White =

(3.6)

Kemudian meregres kuadrat residual (u2)

(3.7)

Dan apabila

α1 = α2 = α3 = α4 = α5 = α6 = 0 tidak terjadi heterokedastisitas.

Dan apabila X2 (Chi-Kuadrat) hitung lebih lebih kecil dari X2(Chi-Kuadrat)tabel berarti tidak terjadi heterokedastisitas.

3.4.1.4 Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi variabel terikat dan variabel bebas keduanya mempunyai distribusi normal ataukah tidak. Model regresi yang baik adalah memiliki data normal atau mendekati normal.

Uji normalitas dapat dideteksi dengan melihat penyebaran titik pada sumbu diagonal dari grafik histogram dari residualnya. Jika menyebar di sekitar garis diagonal dan grafik histogramnya menunjukkan pola distribusi normal, maka model regresi memenuhi asumsi normalitas. Jika data menyebar jauh dari garis diagonal dan tidak mengikuti arah garis diagonal atau histogram tidak menunjukkan pola distribusi normal, maka tidak memenuhi asumsi normalitas.

Uji Jaque Bera jika X2(Jarque-Bera Normality Test-Chi-Square) hitung adalah lebih kecil dari tabel maka data diasumsikan terdistribusi normal dengan (α = 5%) atau besar probailitas diatas 0,05. Persamaan uji normalitas Jarque-Berra adalah :

(3.8)

Arti dari notasi n = besar sampel, S = koefisien Skewness dan K = koefisien Kurtosis. Uji Jarque-Bera lebih baik merupakan uji dengan sample besar atau asymptotic.( Gujarati, 2002)

3.4.2 Pengujian Stabilitas Jumlah Uang Beredar dan Kredit untuk Menguji Efektivitas Mekanisme Transmisi.

Pengujian efektifitas variabel M1 dan Kredit dilakukan dengan cara membandingkan variance residual masing-masing persamaan OLS. Bagi yang memiliki variance residual paling kecil adalah yang paling efektif.

Cara membandingkan variance residual adalah membandingkan dalam tiga tahap ;

  1. Sebelum krisis moneter.

Yaitu : membandingkan variance residual antara M1 dan Kredit (L), apabila M1 <L berarti M1 lebih efektif, dan apabila L <M1 berarti kredit lebih stabil. Data sebelum krisis diambil dari tahun 1990 kuartal I sampai 1997 kuartal III.

  1. Sesudah krisis moneter.

Yaitu : membandingkan variance residual antara M1 dan Kredit (L), apabila M1 <L berarti M1 lebih efektif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan apabila L <M1 berarti kredit lebih stabil. Data sebelum krisis diambil dari tahun 1997 kuartal III sampai 2006 kuartal IV.

  1. Sebelum dan sesudah krisis moneter.

Yaitu : membandingkan variance residual antara M1 dan Kredit (L), apabila M1 <L berarti M1 lebih efektif dalam meningktakan pertumbuhan ekonomi, dan apabila L <M1 berarti kredit lebih stabil. Data sebelum krisis diambil dari tahun 1991 kuartal III sampai 2006 kuartal IV.

Pada masing-masing besaran moneter dan kredit tersebut akan diketahui sebesar mana stabilitas jalur moneter dan jalur kredit dengan membandingkan variance residual masing-masing.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Kebijakan Moneter di Indonesia.

Liberalisasi perbankan sejak tahun 1980-an mengakibatkan perkembangan perbankan di Indonesia cukuplah pesat. Sistem keuangan Indonesia mengalami perubahan yang berarti sampai saat ini. Liberalisasi disertai dengan kelonggaran arus modal asing dan pengawasan devisa. Perkembangan tersebut mendorong perubahan arah kebijakan moneter, mempengaruhi hubungan antara permintaan uang, pendapatan dan suku bunga. Mendorong Pemerintah untuk mengkaji ulang instrument-instrumen moneter yang tepat untuk kebijakan yang akan dikeluarkan. Meskipun liberalisasi tersebut diikuti oleh paket-paket kebijakan lainnya, namun belum dapat mengurangi kelemahan di berbagai sektor perekonomian yang ada.

Beberapa kebijakan liberalisasi keuangan yang dilakuakan Pemerintah Indonesia sejak tahun 1983 sampai dengan akhir tahun 1996, yang sering dinyatakan sebakai akar krisis di Indonesia. Inti dari rangkaian kebijakan tersebut adalah membiarkan kekuatan pasar melakukan peranan yang besar dalam sistem keuangan. Sementara itu upaya perbaikan yang selaras dengan semakin kompleks kebutuhan ekonomi, teknologi dan kualitas sumber daya yang mampu merespon perubahan dari luar.

Sebelum liberalisasi keuangan, Indonesia memiliki ciri ekonomi dimana peran pemerintah yang dominan dalam menentukan kegiatan ekonomi. Kondisi ini mengakibatkan Indonesia sulit untuk bersaing secara global. Pada awal 80-an, pemerintah melakukan liberalisasi keuangan, termasuk meningkatkan kegiatan pasar uang dan pasar modal.

Puncak dari liberalisasi tersebut adalah krisis keuangan yang terjadi tahun 1998, yang mengakibatkan terjadi berbagai gejolak moneter di Indonesia yang berakibat pada lemahnya pertumbuhan di sektor riil. Segala macam usaha dilakukan oleh pemerintah untuk mengembalikan kondisi keuangan dengan menstabilkan nilai rupiah, menekan inflasi, menstabilkan jumlah uang beredar dan membangkitkan iklim usaha, berupa kredit yang tepat pada sasaran. Reformasi perbankan banyak dikeluarkan dengan UU no : 10/1998 menggantikan UU no 7/ 1992. Ditingkatkan lagi dengan UU no : 23/ 1999, merupakan penguatan Bank Indonesia yang lebih Independen. Pada tahun 2004 dikeluarkan pula UU no: 3 tahun 2004 yang membahas tentang koordinasi antara fiskal dan moneter di Indonesia.

Pengendalian moneter melalu kebijakan moneter dan kontrol kepada kesehatan bank sebagai lembaga intermediasi mampu menstabilkan jumlah uang beredar sampai penghujung tahun 2007. Namun berbagai macam usaha perbaikan moneter yang mampu menstabilkan dan meningkatkan likuiditas perbankan baru berkisar pada sektor moneter dan belum dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan.

Bernanke- Blinder (1988) dalam bukunya “Credit, Money and Aggregate Demmand”, yang diterbitkan oleh National Bureu of Economics Research 1050 Massachusetts Avenue Canbride, MA 02138 pada bulam Maret, melakukan penelitian empiris dengan data berkala dari tahun 1974 sampai dengan tahun 1985 secara kuartalan. Variabel yang digunakan adalah variabel permintaan uang dan kredit, pendapatan nasional bruto, suku bunga obligasi FED’S (bank Sentral Amerika Serikat) atau disebut T-Bills, indeks harga konsumen dan suku bunga kredit Amerika Serikat. Analisis dilakukan data periode 1974:1 – 1979:3 dan 1979 : – 1985:4. Dengan membandingkan variance residuasl diperoleh kesimpulan bahwa periode 1974:1 – 1979:3 varince residuals jumlah uang beredar (0,265*10-4) lebih kecil dari variance residuals dari kredit (0,687*10-4) dan pada periode 1979:4 – 1985:4 diperoleh hasil bahwa variance residuals kredit (0,435*10-4) lebih kecil dari jumlah uang beredar (0,888*10-4). Mulai tahun 1980 dengan penanganan pada jalur kredit mampu menjadikan jalur kredit lebih dominan daripada jumlah uang beredar. Penelitian Bernake-Blinder ini menjadikan inspirasi untuk mengembalikan gejolak moneter akibat krisis, dan pada penelitian ini dibuat untuk mengevaluasi dan menganalisis bahwa penanganan masalah nasional itu mampu mengembalikan stabilitas ekonomi atau hanya bersifat semu saja. Maka diambilah data tahun 1990:1-2006:4 dengan dibagi menjadi dua yaitu sebeluh krisis 1997:3 dan sesudah krisis 1973:4. Panelitian ini mendapatkan hasil yang memuaskan yang akan di jelaskan pada BAB IV berikut ini.

Perkembangan besaran moneter dan besaran kebijakan akan dibahas dalam gambaran umum dan analsis juga akan disusuan dalam analisis dan pembahasan.

4.1.1 Permintaan Uang di Indonesia

Permintaaan uang yang dalam teorinya adalah sama dengan penawaran uang terdiri dari beberapa pembagian dalam bentuk M0 ( uang primer), M1 (uang sempit) dan M2 (uang luas) yang akan dapat dilihat dari perkembangannya dari tahun 1990:1 (Periode I) sampai dengan periode 67 (2006.4) adalah digambarkan dalam grafik 4.1 berikut ini :

Grafik 4.1

M0 ( uang rimer), M1 (uang sempit) dan M2 (uang luas)

Total

Periode

Total

Periode

Total

Periode

Sumber BI, diolah

Dapat dilihat bahwa jumlah permintaan uang terus meningkat dari tahun ke tahun yaitu sangat kelihatan gejolah permintaan M2 lebih besar dari M0 dan M1 mulai dari periode 32 yaitu pada tahun 1997:4 berarti terjadi peningkatan bank runs pada tahun-tahun tersebut. Bank runs ini akibat kepanikan masyarakat dan mengalihkan dana mereka pada asset lain di luar lembaga perbankan atau uang baik uang kartal maupun uang giral, maupun dalam valuta asing.

Besarnya simpangan baku dari M0 = 81.776,9 juta rupiah , M1 = 92.422,8 juta rupiah , dan M2 = 392.413,1 juta rupiah, menunjukan bahwa perbadingan penyebaran antara batas terendah dan batas tertinggi dari jumlah uang beredar menunjukkan bah M2 lebih besar dari M0 dan M1.

4.1.2 Uang Kartal (Cu)

Uang kartal adalah uang kertas atau logam yang beredar di masyarakat. Uang Kartal (Curency) telah diciptakan oleh bank sentral dan bukan dikeluarkan oleh bank umum. Uang kartal yang berfungsi untuk transaksi perkembangannya selama sebelum dan sesudah krisis moneter adalah sebagai berikut dari tahun 1990:1 sampai dengan 2006:4 :

Grafik 4.2

Periode

Sumber BI, diolah

Jumlah peningkatan uang kartal terus meningkat dengan lonjakan yang cukup berarti sejak tahun 1997:4 dimana jumlah pada periode sebelumnya adalah sebesar 23.196 juta rupiah menjadi 28.423,86 juta rupiah meningkat tajam terus sampai tahun 2006:4 seperti dalam grafik di atas. Besarnya simpangan baku adalah 38.408,69 juta rupiah dan rata-rata jumlah uang kartal adalah 49.111, 59 juta rupiah per kwartal.

4.1.3 Cadangan (Reserve)

Cadangan (R) merupakan gabungan dari cadangan minimum (RR) dan exces reserve (ER). Jumlah cadangan tiap periode secara kuartalan dari tahun 1990:1 sampai 2004:1 adalah :

Grafik 4.3

Periode

Sumber BI, diolah

Jumlah cadangan juga mengalami gejolak setelah masa krisis dimana terjadi peningkatan jumlah yang bergitu tajam karena Bank Indonesia berusaha mengendalikan gejolak moneter. Besarnya cadangan mengalami gejolak pada periode 25 atau 1996:1 merupakan awal dari puncak krisis moneter. Dan selanjutnya gejolak cadangan tidak begitu rata seperti pada periode-periode sebelumnya. Besarnya rata-rata cadangan (R) tiap periode adalah 40.118,19 juta rupiah dengan simpangan baku sebesar 44.245,96 juta rupiah.

4.1.4 Permintaan M1 di Indonesia

Uang dalam arti sempit yang terdiri dari uang giral dan uang kartal dapat kita lihat sebagai berikut :

Grafik 4.4

Periode

Sumber BI, diolah

Gejolak M1 adalah pada periode 30 tahun 1997:2 dimana bersamaan dengan gejolak uang inti (M0) dan uang giral (DD) dimana jumlah M0 = 46.126 juta rupiah dan DD = 46.196 juta rupiah sehingga jumlah M1 pada saat gejolak sebesar 69.950,04 juta rupiah. Besarnya simpangan bakunya untuk DD = 54.170,74 juta rupiah, M0 = 81.776,9 juta rupiah dan M1 adalah 92.422,82 juta rupiah.

4.1.5 Permintaan M2 di Indonesia

Perkembangan perangkat besaran moneter adalah adanya uang luas (M2) yang terdiri dari Uang Sempit (M1) dengan uang kuasi (time deposit dan Money Market Mutual Fund’s) dengan melihat pertumbuhannya sebagai berikut :

Grafik 4.5

Periode

Sumber BI, diolah

Pertumbuhan M2 mengalami gejolak pula pada periode 32 atau di tahun 1997:3 ke tahun 1997:4 dengan jumlah yang cukup meningkat secara signifikan pada waktu itu sebesar 355.652, 9 juta rupiah menjadi 449.824,3 juta rupiah. Gejolak tersebut diikuti peningkatan jumlah M2 dengan simpangan baku sebesar 392.413,1 juta rupiah.

4.1.6 Uang Giral

Uang Giral juga mengalami peningkatan dari periode ke periode dengan besarnya simpangan baku sebesar 54.170,74 juta rupiah. Jumlah meningkat meskipun stabil menunjukkan bahwa kebutuhan akan uang giralpun terus miningkat dari tahun ke taun. Besarnya uang Giral dapat dilihat dalam grafik berikut :

Grafik 4.6

Periode

Sumber BI, diolah

Uang giral ini adalah uang yang merupakan pembentuk M1 yaitu merupakan uang yang dikeluarkan oleh bank umum berupa cek, sedangkan seperti penjelasan di atas yang membedakan dengan uang kartal yang dikeluarkan oleh bank sentral yaitu Bank Indonesia.

4.1.7 Time Deposite dan Money Market Mutual Funds.

Pengertian lebih jauh dalam besaran moneter adalah M2 yang terdiri dari uang kuasi. Uang kuasi merupakan kontruksi moneter dari Deposito berjangka (TD/ Time Deposit) dan Money Market Mutual Fund’s seperti dalam grafik berikut :

Grafik 4.7

Periode

Sumber BI, diolah

Besarnya uang kuasi terus meningkat dan setelah masa krisis mengalami gejolak yang cukup luar biasa serelah krisis pada periode 33 (1997:4 menuju 1998.1) dengan jumlah peningkatan yang cukup besar yaitu 277.300 juta rupiah menjadi 351 554 juta rupiah. Simpangan bakunya sebesar 301.742 juta rupiah.

4.1.8 Permintaan Kredit di Indonesia

Permintaan kredit terus meningkat dari periode 1 (1990:1) sampai peride 36(1998:4) sampai jumlah 313.118 juta rupiah menurun pada periode berikut sebesar 231.423 juta rupiah dan mengalami peningkatan lagi setelah pemulihan ekonomi pada periode 44 (2000:4) sebesar 152.482 juta rupiah, dari periode sebelumnya sebesar 139.763 juta rupiah. Peningkatan tersebut terus bertambah sampai tahun 2007 dengan berbagai kebijakan yang dikelurkan oleh otoritas moneter (Bank Indonesia)

Perkembangan kredit dari waktu ke waktu sebagai berikut, seperti dalam grafik berikut :

Grafik 4.8

Periode

Sumber BI, diolah

Besarnya simpangan baku dari kredit adalah 150.769 juta rupiah, dan rata-rata besarnya kredit tiap periode adalah 232.830,6 juta rupiah.

4.1.9 Perkembangan Pertumbuhan (PDB), Inflasi dan tingkat bunga.

Pertumbuhan PDB, inflasi, dan suku bunga memiliki fluktuasi dan gejolak pada masa krisis. Kalau dilihat dalam grafik berikut jelaslah bahwa pada masa gejolak moneter terlihat bahwa pertumbunan PDB cenderung konstan, sedangkan untuk inflasi dan suku bunga cukup jelas. Suku bunga SBI maupun suku bunga kredit menunjukan fluktuasi yang jelas, namun suku bunga SBI pada masa gejolak lebih menunjukkan jumlah yang lebih tinggi dari suku bunga kredit.

Ada gejolaj inflasi namun lebih rendah fluktuasinya dari suku bunga SBI dan kredit, meski lebih fluktuatif dari pertumbugan PDB. Volatilitas tersebut dapat dilihat dengan besarnya simpangan baku seperti table berikut :

Tabel 4.1

Rata-rata, simpangan baku, dan koefisien varians

Dari Pertumbuhan PDB, Inflasi dan Suku Bunga

Pertumbuhan PDB Inflasi Suku bunga SBI Suku bunga Kredit

Sumber : Statistik Bank Indonesia, diolah.

Tabel di atas menunjukkan bahwa simpangan baku (SD) dari inflasi adalah paling besar dari variable suku bunga SBI, suku bunga kredit dan Pertumbuhan PDB. Sebaliknya angka simpangan baku (SD) menunjukkan bahwa simpangan baku dari pertumbuhan Ekonomi adalah terkecil.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik berikut :

Grafik 4.9

Pertumbuhan PDB, Inflasi dan Suku Bunga

Total

Periode

Sumber BI, diolah

Total

Periode

Sumber BI, diolah

Total

Periode

Sumber BI, diolah

Gejolak inflasi tertinggi pada periode 36 yaitu pada tahun 1998:4 sebesar 77.63 persen dan teredah pada periode 41 yaitu tahun 2000:1 sebesar -1,1 persen. Gejolak suku bunga SBI juga terjadi dimana tingkat bunga SBI tertinggi pada periode 35 tahun 1998:3 sebesar 64,74 persen. Sedangkan Gejolah suku bunga kredit tertinggi terjadi pada periode 35 atau tahun 1998:3 menembus titik 24,88 persen. Sedangkan pertumbuhan PDB rata-rata adalah memiliki batas tertinggi pada titik 5 persen, justru pada saat awal terjadinya krisis yaitu tahun 1997:3 dan tahun 1997:4.

4.1.10 Selisih Tingkat Suku Bunga Obligasi dan Tingkat Bunga Kredit.

Selisih suku bunga obligasi dan kredit menunjukkan seberapa besar keuntungan meminjamkan uang pada masyarakat atau menyimpan atau menginvestasikan bentuknya dalam obligasi (SBI) oleh bank umum. Sehingga motif-motif menyalurkan kredit menjadi keputusan yang rasional oleh bank umum untuk memperoleh keuntungan yang maksimal yang dimungkinkan.

Perkembangan selisih suku bunga obligasi dan kredit adalah sebagai berikut :

Grafik 4.10

Periode

Sumber BI, diolah

Suku bunga kredit pernak mengalami situasi dimana tingkat suku bunga kredit lebih kecil dari tingkat suku bunga SBI, artinya Bank Indonesia sangat ketat untuk mengendalikan jumlah uang yang beredar, dimana jumlah selisihnya sampai sebesar -39 persen ( suku bunga SBI dikurangi suku bunga kredit) pada period eke 35 atau 1998:3 dan selisih itu negative dari tanu 1997:4 (periode 32) sampai dengan 1999:1 (periode 37). Setelah itu selisih cenderung positif dan tingkat suku bunga menjadi reltif stabil.

Besarnya simpangan baku adalah 8,542 dengan rata-rata adalah besar suku bunga 1,82 persen. Menunjukan bahwa volatilitas selisih suku bunga SBI dan kredit cukup tinggi.

4.1.11 Tingkat suku bunga Obligasi (SBI) Riil

Tingkat suku bunga Obligasi (SBI) riil jga mengalami fluktuasi yang cukup besar pada periode-periode dalam penelitian. Dimana tingkat suku bunga SBI riil pernah mengalami jumlah yang negative, dimana pendapatan SBi riil pernah mengalami pendapatan yang secara riil menurun. Meskipun dalam teori melakukan investasi dalam SBI merupakan risk free namun pada kenyataannya juga mengalami perjalanan bahwa kenyataan itu tidak benar, karena suku bunga SBI riil merupakan suku bunga SBi yang dikoreksi oleh besarnya inflasi. Artinya bahwa suku bunga SBI pada kenyataannya mengalami koreksi dari suku bunga SBI nominan yang nota bene kelihatan positif.

Suku bunga SBi (obligasi) riil dapat dilihat dalam grafik berikut ini :

Grafik 4.11

Periode

Sumber BI, diolah

Suku bunga SBI riil pernah mengalami situasi dimana besarnya SBI riil adalah negatif pada periode 35 dan 36 yaitu tahun 1997:3 (-10,73 )dan tahun 1997:4 (-42,11) dan sebelumnya pernah mengalami angka negatif pada tahun 1993:4 (-0,93). Sesudah masa krisis tersebut juga mengalami angka negative pada tahun 2005:4 (-4,35) dan 2006:1 (-5,17). Besarnya simpangan baku dari suku bunga SBI riil adalah 9,2 dan rata-ratanya sebesar 6,62 persen.

4.1.12 Tingkat suku bunga Kredit Riil

Tingkat bunga kredit riil adalah merupakan resiko riil yang harus dibayar oleh peminjam atau debitur dalam memperoleh kredit. Suku bunga kredit riil juga pernah mengalami angka negartif yaitu pada saat krisis moneter yaitu antara 1998:1 (periode 33) sampai 1998:4 (periode 36) yang merupakan puncak terendah pada -54,47 persen. Dan seseudah itu juga terjadi seperti halnya pada suku bunga SBI riil yaitu tahun 2005.4 (-1,440 dan 2006.1 (-2,00). Angka tersebut dapat dilihat dalam grafik tersebut dibawah ini :

Grafik 4.12

Periode

Sumber BI, diolah

Suku bunga kredit riil memiliki simpangan baku sebesar 12,82 dan rata-rata 8,46 masih lebih besar dari suku bunga SBI riil.

4.1.13 Simpangan Baku dari M1, Kredit dan PDB.

Secara kasar quantum channel dapat dideteksi dengan melihat simpangan baku masing-masing variabel. Besaran moneter yang berupa besaran moneter M1 dan Kredit) dan PDB memiliki berbagai variasi simpanmgan baku. Dan dari simpangan baku yang ada dengan 68 sampel diperoleh hasil bahwa Pertumbuhan PDB lebih stabil dibanding besaran moneter. Sedangkan simpangan baku yang paling fluktuatif adalah M0, menunjukkan bahwav peran interfensi Bank Indonesia dalam mengendalikan moneter cukup besar untuk mengatasi kegagalan intermediasi perbankan.

Data simpanagan baku dari tahun 1990:1 sampai 2006:4 dapat dilihat dalam table berikut :

Tabel 4.2

Tabel Simpangan Baku (Standard Deviations)

Variable

Count

Std. Dev.

LOG(Y)

68

0.261810

LOG(M1)

68

0.868231

LOG(L)

68

0.645918

Total

340

1.067356

Sumber BI, diolah 2007.

Simpangan baku dari seluruh variabel dengan total data 340 diperoleh standard deviasi 1,0673. Kesimpulannya bahwa PDB lebih memilik peran lebih dominan terhadap besaran Moneter.

4.1.14 Korelasi antara M1 dan Kredit(L) terhadap PDB.

Alat yang sederhana lainnya untuk mendeteksi quantum channel adalah dengan melihat korelasi antara besaran Moneter (M1 dan kredit) dengan PDB dapat dilihat dalam table berikut :

Tabel 4.3

Korelasi M1 dan Kredit

terhadap PDB

Periode

LOG(M1)

LOG(L)

1990:1 – 2006:4

0.45852

0.66337

1990:1 – 1997:3

0.895475

0.895727

1997:4 – 2006:4

-0.146104

0.369278

Sumber BI, diolah 2008.

Korelasi antara masing besaran moneter dengan PDB sebelum dan sesudah krisis (1990:1-2006:4) adalah positif kuat dengan r sebelum dan sesudah krisis 0,45 cukup tinggi dan sebelum krisis r = 0,895 sangat ringgi korelasinya. Korelasi sebelum masa krisis (1990:1-1997:3) adalah positif dan sangat kuat. Korelasi setelah krisis (1997:4-2006:4) masing-masing besaran moneter terhadap PDB adalah negatif untuk M1 (r = -0,14 artinya sangat lemah) dan kredit tetap positif meskipun cukup lemah korelasinya(r = 0,36)

Artinya setelah masa krisis pertumbuhan uang beredar justru berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.

4.1.15 Kovarian antara M1 dan Kredit(L) terhadap PDB.

Kovarian menunjukkan hubungan dimana perubahan variabel M1 dan Kredit akan diikuti perubahan positif dari Y secara positif ataupun negatif (Gozali, 2007) sebelum dan sesudah krisis moneter seperti dalam table berikut :

Tabel 4.4

Kovarian M1 dan Kredit

terhadap PDB

Periode

LOG(M1)

LOG(L)

1990:1 – 2006:4

0.102695

0.110531

1990:1 – 1997:3

0.111762

0.147515

1997:4 – 2006:4

-0.007501

0.023389

Sumber BI, diolah 2008.

Sebagai ukuran angka kovarian tidak banyak menjelaskan tentang hubungan pertumbuhan antara masing-masing variabel M1 dan Kredit terhadap Y (PDB) . Perubahan besaran moneter (M1 dan L) akan diikuti perubahan Y secara positif pada masa sebelum krisis moneter. Artinya jika besaran moneter berada di atas rata-rata , maka begitu pula Y akan berada di atas rata-rata. Pada masa sesudah krisis moneter perubahan M1 akan diikuti oleh perubahan PDB secara negatif. Tetapi perubahan kredit tetap konsisten diikuti gerak positif dari Kredit. Artinya pada masa krisis terjadi penurunan jumlah uang beredar akan diikuti dengan kenaikan jumlah pendapatan (PDB). Penurunan jumlah kredit akan diikuti dengan penutrunan jumlah pendapatan (PDB). Kesimpulannya pada masa sebelum dan sesudah krisis tidak terjadi gangguan intermediasi, begitu pula pada masa sebelum krisis. Pada masa sesudah krisis ada gangguan intermediasi dimana dampak dari peningkatan jumlah uang beredar akan mengurangi jumlah pendapatan sehingga jalur moneter pada kebijakan moneter pasca krisis adalah tidak efektif. Sedangkan dampak dari kenaikan kredit cukup efektif dalam kebijakan moneter. Akhirnya dapat diambil tindakan pada kasus jalur moneter untuk mengatasi gangguan intermediasi.

4.1.16 Rasio Kredit terhadap Dana Pihak Ketiga (Loans to Deposite Ratio)

Kredit disalurkan pada nasabah atau debitur adalah dengan memperhatikan besarnya jumlah dana pihak ketiga yang diperoleh bank umum. Dengan menggunakan rasio antara kredit dan Dana Pihak ketiga diperoleh data sebelum dan sesudah krisis sebagai berikut :

Grafik 4.13

Total

Periode

Sumber BI, diolah 2008.

Jumlah rasio kredit terhadap dama pihak ke tiga sebelum krisis rata-rata adalah diatas 50%, hal ini menunjukkan bahwa penyaluran dana pihak ke tiga terhadap krdit cukup tinggi. Bahkan di tahun 1997:3 sampai pada angka 90 %, bahkan rata-rata dari tahun 1990:1 sampai dengan 1997:3 (peride 32) adalah 91 %, dengan simpangan baku sebesar 0,074 sangat stabil dan volatilitas cukup kecil. Sedangkan sesudah krisis rata-rata LDR adalah 40% dan simpangan baku adalah 0,148 dan sangat tidak stabil.

Pada masa pasca krisi mengalami dua fase yaitu fase kredit runs yaitu pada tahun 1997:3 sampai dengan 1998:4, dan fase ke dua pada tahun 1998 sampai 2006:4 adalah fase credit crunch. Meskipun pada masa asetelah krisis sudah kelihatan stabil, sehingga pada fase berikutnya menaikkan nilai kredit pada masyarakat.

4.1.17 Rasio Kredit terhadap Uang Kuasi

Rasio kredit terhadap uang kuasi mengalami penurunan tajam pada periode yang sama di sekitar saat krisis yaitu dari periode 33 (1997:4) sampai periode 45 (2001:2) dengan rasio sekitar 25%. Kemudian mengalami kenaikan lagi dan pada akhir 2006:4 mencapai rasio sebesar 0,63 persen. Padahal sebelum krisis rasio rata-rata kredit terhadap uang kuasi adalah 1,113, artinya rasio menunjukkan bahwa setiap Rp 1.000 ,00 uang kuasi jumlah kredit adalah Rp 1.113,00

Rasio kredit terhadap uang kuasi setelah krisis adalah 0,47 artinya setiap Rp 1000,00 uang kuasi jumlah kredit adalah Rp 470,00, menunjukkan angka yang menurun begitu besar dari rata-rata kredit.

Grafik 4.14

Total

Periode

Sumber BI, diolah 2008.

4.1.18 Rasio Kredit terhadap Uang Kartal

Rasio Kredit terhadap uang kartal juga mengalami penurunan seperti dalam grafik di bawah ini, terutama setalh masa krisis 1997. Peningkatan tidak begitu kelihatan setelah krisis dan masih kelihatan stabil. Rata-rata rasio sebelum krisis adalah 8,58 dan setelah krisis hanya menunjukkan angka 4,14 berarti terjadi penurunan yang begitu tajam dari kredit kalau dipandang dari sudut peredaran uang kartal.

Rasio kredit terhadap uang kartal sebelum krisis lebih kelihatan fluktuatif disbanding sesudah krisis. Hal ini menunjukkan bahwa setelah krisis kebijakan pemberian kredit cukuplah hati-hati.

G

Total

rafik 4.15

Sumber BI, diolah 2008

4.1.19 Rasio Kredit terhadap Uang Giral

Seperti halnya rasio kredit terhadap uang kartal, rasio kredit terhadap uang giralpun mengalami penurunan yang begitu tajam. Penurunan tersebut dapat ditunjukkan dalam grafik dimana penurunannya pasca krisis begitu tajam seperti yang dilihat pada periode 32 (1997:3) berikut ini :

Grafik 4.16

Total

Periode

Sumber BI, diolah

Rasio kredit terhadap uang giral mengalami penurunan terlihat pada rata-rata sebelum krisis adalah sebesar 5,29 menjadi 2,87 sesudah krisis, hampir menurun separohnya yaitu 0,54 persen.

4.1.20 Rasio Kredit terhadap Uang Primer

Rasio kredit terhadap uang primer menunjukkan bahwa perbandingan besaran kredit terhadap uang primer yang terdiri dari uang kartal dan uang giral menggambarkan seberapa besar jumlah kredit yang dapat diperoleh masyarakat dengan uang kertas dan cek yang tersedia. Perkembangannya dapat dilihat sebagi berikut :

G

Total

rafik 4.17

Periode

Sumber BI, diolah 2008.

Rasio kredit terhadap Uang Primer (M0) sebelum dan sesudah krisis menunjukkan perbedaan yang cukup jelas. Penurunan rasio sangat kelihatan sejak krisis cukup tajam sampai pada titik terendah pada periode 44 (2000:3) dengan rasio 1,113. Rata-rata rasio kredit terhadap M0 sebelum krisis adalah 5,29 dan setelah krisis adalah 2,87, merupakan perbedaan rata-rata yang cukup tajam.

4.1.21 Rasio Kredit terhadap Uang Sempit (M1)

Rasio kredit terhadap M1 adalah juga menunjukkan penurunan yang cukup tajam. Perbandingan tersebut terlihat seperti dalam grafik di bawah ini. Dimana rasio kredit terus menurun turun dibanding dengan jumlah uang beredar dalam arti sempit (M1) tersebut. Terjadi kontraksi besar-besaran penawaran kredit, dimana perbankan terus berusa memperbaiki kinerja keuangan mereka, likuiditas dan fundamental keuangan mereka.

Grafik 4.18

Total

Periode

Sumber BI, diolah 2008.

Rata-rata rasio kredit terhadap M1 satu juga menunjukkan perbedaan dengan rata-rata rasio sebelum krisis adalah 3,27 dan setelah krisis adalah 1,69.

4.1.22 Rasio Kredit terhadap Uang Luas (M2)

Rasio kredit terhadap M2 juga mengalami penurunan yang cukup tajam akibat krisis meski lebih stabil pasca perbankan mampu memapanpan kesehatannya. Kebutuhan kredit disbanding M2 terus menurun seperti dalam grafik berikuit ini :

Gambar 4.19

Total

Periode

Sumber BI, diolah 2008.

Rata-rata rasio kredit terhadap M2 sebelum krisis adalah 0,82 dan setelah krisis lebih tajam lagi yaitu 0,36. Kredit yang dapat diperoleh oleh masyarakat hanya Rp 360,00 tiap Rp 1000,00 M2 pasca krisis, sebelum krisis kredit mampu menyediakan sampai Rp 820,00 setiap Rp 1000,00 M2.

Gambaran umum diatas telah menggambarkan seberapa besar deskripsi tentang terbentuknyua uang, kredit, transmisi dan intermediasi, yang lebih lanjut efektifitasnya dalam meningkatkan pertumbuhan PDB akan dilihat pada sub bab pembahasan berikut nya.

4.2 Analisis dan Pembahasan

4.2.1 Hasil Pengujian Persamaan Regresi untuk M1/M (Penawaran Uang)

4.2.1.1 Hasil Regresi Fungsi Jumlah Uang Beredar (M1).

Hasil dari perhitungan regresi berganda dengan menggunakan regresi semi logaritma menghasilkan estimasi seperti berikut :

Log M = – 0,622 + 0,0536 Log Y + 0,025 Log i + 1,00026 LogMt-1 – 0,001π

t (-1,78) (-1,75) (1,14) (105,68) (-1,46)

Prob (0,08) (0,08) (0,26) (0,000) (0,15)

Adj R2 = 0,996 DW test = 2,03

F statistik = 4104,59

Uji White Heterokedastisitas Prob(R2* obs) = 0,009

Uji LM Autokorelasi Prob(R2* obs) = 0,09 (2 lags)

Jumlah Uang Beredar sangat dipengaruhi oleh kenaikan tingkat pendapatan (Y) atau pertumbuhan ekonomi, ditunjukkan dengan peningkatan PDB. Jumlah Uang Beredar sangat dipengaruhi oleh kenaikan jumlah uang beredar satu periode sebelumnya (Mt-1). Setiap kenaikan PDB (Y) sebesar 1% akan meningkatkan kenaikan jumlah uang beredar 0.0536%. Kenaikan 1 persen Mt-1 akan mempengaruhi kenaikan M sebesar 1.00026%.

Secara ekonomi perubahan suku bunga SBI dan inflasi tidak menjadi faktor yang mengakibatkan perubahan jumlah uang beredar. Hal ini akibat dari gejolak yang tajam pada masa krisis, keputusan menjadi tidak rasional untuk menentukan jumlah uang beredar, akibat gejolak harga (inflasi) yang cukup tidak stabil.

Sedangkan penentuan suku bunga SBI yang cukup tinggipun tidak mampu menekan permintaan uang yang harus diikuti dengan peningkatan jumlah uang beredar. Pada masa krisis, pada saat kredit runs masyarakat menarik uang secara besar-besaran, meskipun suku bunga SBI cukup tinggi. Dengan suku bunga SBI yang tinggi, tidak langsung direspon masyarakat pada situasi ekonomi yang tidak stabil tersebut.

  1. Uji t (Uji Parsial)

Pertumbuhan Mt-1 dan PDB (Y) menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan M, dengan derajat keyakinan 90% (α=10%) uji 2 arah , derajat kebebasan (df) 67 dengan t hitung Mt-1 = 105,643 > ttabel = 1,645 . Suku bunga SBI (i) = 1,14 dan inflasi(π) = – 1,46 keduanya lebih kecil dari t tabel (1,645), menunjukkan hasil yang tidak signifikan mempengaruhi Jumlah Uang Beredar (M1/M).

  1. Uji Determinan (R2) dan Uji F

Secara ekonometri, hasil yang sangat baik diperoleh dengan tingginya R2 (0,996) dan efek kumulatif dari semua variabel menunjukkan hasil yang cukup signifikan dengan besarnya F hitung = 4104,89 lebih besar dari F tabel (α=5%, df=64,4) sebesar 2,53.

Artinya adalah secara bersama-sama variabel bebas mempengaruhi variabel terikat dengan F hitung > Ftabel. Varibel bebas menjelaskan variabel terikat dalam model sebesar 99,6 % dan sisanya adalah dijelaskan oleh variabel di luar model.

4.2.1.2 Penyimpangan Asumsi Klasik Fungsi Jumlah Uang Beredar (M1)

Uji penyimpangan asumsi klasik dengan menggunakan uji autokorelasi, uji heterokedastisitas, multikolinearitas dan normalitas. Ditunjukkan dalam poin berikut ini :

  1. Uji Autokorelasi.

Pelanggaran asumsi klasik tidak dapat dihindari dengan DW = 2,509 lebih kecil dari 4 – 1,343 = 2,657 dengan adanya autokorelasi negatif namun ada autokorelasi den juga dengan menggunakan uji LM test mengindikasikan tidak autokorelasi dengan nilai Prob(R2* obs) = 0,09 (2 lags) lebih kecil dari 10 persen.

  1. Uji Heterokedastisitas

Heterokedastisitas terjadi dimana Uji White Heterokedastisitas Prob(R2* obs) = 0,009 jauh lebih kecil dari α = 10 persen.

  1. Uji Multikolinearitas

Multikolinearitas secara umum bisa dihindari dengan tidak adanya pengaruh yang signifikan dari i dan π yang bertanda negative meskipun tidak konsisten dalam tanda matematika. Multikolinearitas tidak terjadi karena tingkat signifikan yang cukup besar dari PDB(Y) dan Mt-1 dengan R2 dan F yang besar pula tingkat signifikansinya.

  1. Uji Normalitas

Data terdistibusi secara tidak normal dengan Prob JB = 0,085 dibawah batas nilai normal yaitu diatas 10 persen. Sehingga dapat disimpulkan bahwa model diatas sudah cukup baik menjelaskan persamaan model penawaran uang.

4.2.1.3 Penjelasan Secara Ekonomi Hasil Regresi Fungsi Jumlah Uang Beredar (M1).

Arti ekonominya bahwa konstanta menunjukkan nilai negatif 0,622 dengan t hitung -0,78 ( probabilitas 0,08), memiliki arti apabila variabel Y, i, Mt-1, dan π adalah tetap pertumbuhan M adalah menurun -0,622%. Penawaran uang sangat dipengaruhi oleh kenaikan tingkat pendapatan atau pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan dengan peningkatan PDB dan penawaran uang periode satu kuartal. Setiap kenaikan PDB 1% akan meningkatkan kenaikan Penawaran uang 0.0536%, dan kenaikan 1 persen Mt-1 akan mempengaruhi kenaikan M sebesar 1.00026%. Perubahan suku bunga SBI dan inflasi tidak menjadi faktor yang mengakibatkan perubahan penawaran Uang, hal ini diakibatkan gejolak yang tajam pada masa krisis tidak mengakibatkan keputusan rasional untuk menentukan jumlah uang beredar karena gejolak harga yang cukup tidak stabil. Sedangkan penentuan suku bunga SBI yang cukup tinggipun tidak mampu menekan permintaan uang yang harus diikuti dengan penawaran uang yang cukup. Pada masa krisis terutama pada saat kredit runs masyarakat menarik uang pada masa krisis secara besar-besaran meskipun penawaran suku bunga SBI cukup tinggi. Memang penawaran suku bunga SBI kadang tidak direspon secara langsung oleh masyarakat terutama pada situasi ekonomi yang tidak stabil.

4.2.2 Hasil Pengujian Persamaan Regresi untuk Kredit (L)

4.2.2.1 Hasil Regresi Fungsi Kredit (L).

Hasil dari perhitungan regresi berganda dengan menggunakan regresi semi logaritma menghasilkan estimasi seperti berikut :

LogL = 2.657 – 0.0775log Y – 0.007 log i + 0.959 log Lt-1 + 0.003 π – 0.44 log ρ

t (5,46) (-1,803) (-0,19) (52,68) ( 3,7) (-4,64)

Prob (0,00) (0,076) (0,84) (0,00) (0,005) (0,00)

Adj R2 = 0,99 DW test = 1,714

F statistik = 1258,91

Uji White Heterokedastisitas Prob(R2* obs) = 0,16

Uji LM Autokorelasi Prob(R2* obs) = 0,38 (2 lags)

Konstanta menunjukkan nilai 2,657, artinya bahwa apabila variabel Lt-1, Y, i, π, dan ρ tetap pertumbuhan kredit akan naik 2,657%. Setiap penurunan 1 persen PDB (pendapatan) akan meningkatkan Kredit sebesar 0,0775 persen. Suku bunga SBI (i) tidak mempengaruhi Kredit baik kenaikan maupun penurunannya secara signifikan. Kenaikan 1% suku bunga kredit(ρ) akan menurunkan kredit 0,44%. Kenaikan inflasi (π) = 1 persen akan meningkatkan kredit 0,003%. Dan setiap kenaikan 1% Kredit periode sebelumnya akan menurunkan kredit 0,959%

  1. Uji t (Uji Parsial)

Pendapatan atau PDB (Y) tidak kosisten dengan teori yaitu dengan pengaruh yang negatif, ditunjukkan dengan t hitung rata-rata lebih besar dari t tabel dengan derajat keyakinan 90% dan 5% uji 2 arah (t tabel = 1,671 ( α = 10%) dan t table = 2,00(α = 5%)) .

Suku bunga SBI (i) tidak mempengaruhi Kredit baik kenaikan maupun penurunannya secara signifikan. Ditunjukkan dengan t hitung (-0,19) < t tabel (1,671 ) dengan α = 10% atau derajat keyakinan 90%, uji 2 arah.

Pertumbuhan Kredit (L) satu periode sebelumnya mempengaruhi kenaikan Kredit secara signifikan. Ditunjukkan dengan t hitung (52,68)> t tabel (1,671 ) dengan α = 10% atau derajat keyakinan 90%. Lebih besar dari t tabel dengan α = 5% sebesar 2,00 atau derajat keyakinan 95%, uji 2 arah.

Inflasi (π) mempengaruhi kenaikan Kredit secara signifikan. Ditunjukkan dengan t hitung ( 3,7) > t tabel (1,671 ) dengan α = 10% atau derajat keyakinan 90%. Lebih besar dari t tabel dengan α = 5% sebesar 2,00 atau derajat keyakinan 95%, uji 2 arah.

Suku bunga kredit (ρ) secara signifikan mempengaruhi penurunan Kredit. Ditunjukkan dengan t hitung (-4,64) > t tabel (1,671 ) dengan α = 10% atau derajat keyakinan 90%. Lebih besar dari t tabel dengan α = 5% sebesar 2,00 atau derajat keyakinan 95%, uji 2 arah.

  1. Uji F dan Uji Determinan (R2)

Secara ekonometri, hasil yang sangat baik diperoleh dengan tingginya R2 (0,99). Efek kumulatif dari semua variabel menunjukkan hasil yang cukup signifikan dengan besarnya F statistic = 1258,91 lebih besar dari F tabel, df 64,4 sebesar 2,53 dengan α = 5%.

Model dijelaskan oleh variabel bebas sebesar 99% terhadap variabel terikat. Sisanya dijelaskan oleh varibel diluar variabel bebas.

4.2.2.2 Penyimpangan Asumsi Klasik Fungsi

  1. Uji Multikolinearitas

Multikolinearitas Multikolinearitas secara umum bisa dihindari dengan tidak adanya pengaruh yang signifikan dari i yang bertanda negative meskipun konsisten dalam tanda matematika. Multikolinearitas tidak terjadi karena tingkat signifikan yang cukup besar dari Kredit(L), inflasi (π), suku bunga kredit (ρ) dan Lt-1 dengan R2 dan F yang besar pula tingkat signifikansinya.

  1. Uji Autokorelasi

Pelanggaran asumsi klasik dapat dihindari dengan DW = 1,714 diantara dl = 1,464 dan dibawah 1,768 menunjukkan tidak adanya autokorelasi negatif maupun positif, dan dengan menggunakan uji LM test dengan nilai Prob(R2*obs) = 0,148 (2 lags) lebih besar dari 10 persen.

  1. Uji Heterokedastisitas

Heterokedastisitas tidak terjadi dimana Uji White Heterokedastisitas Prob(R2*obs) = 0,38 lebih besar dari niali α = 10 persen. Multikolinearitas secara bisa dihindari dengan adanya pengaruh yang signifikan dari masing-masing variable pendapatan, inflasi, suku bunga kredit dan kredit stau periode sebelumnya yang signifikan.

  1. Uji Normalitas

Data terdistibusi secara tidak normal dengan Prob JB = 0,00 jauh di bawah dari batas nilai normal yaitu diatas 10 persen. Sehingga dapat disimpulkan bahwa model diatas sudah cukup baik menjelaskan persamaan tersebut.

4.2.2.3 Penjelasan Secara Ekonomi Hasil Regresi Fungsi Kredit (L)

Implikasi ekonomi yang terjadi bahwa instrument kebijakan moneter berupa suku bunga SBI tidak mampu mengendalikan gejolek kredit di Indonesia. Justru pendapatan memiliki pengaruh terhadap kredit meski kecil, namun yang terjadi di Indonesia permintaan kredit akibat penurunan tingkat pendapat (PDB) artinya permintaan kredit justru untuk menutup kekurangan konsumsi karena penurunan daya beli. Justru masyarakat mengambil kredit sangat bergantung pada kredit yang ditawarkan, hal ini berbeda dengan suku bunga SBI, karena masyarakat lebih banyak kontak dengan bank umum dari pada Bank Indonesia. Penurunan tingkat bunga kredit akibatnya direspon secara positif oleh pasar, demikian sebaliknya.

Informasi suku bunga SBI tidak dapat direspon langsung oleh masyarakat atau pasar karena keterbatasan informasi tentang kenaikan suku bunga SBI kaitannya dengan kredit. Di sisi lain penurunan suku bunga SBI tidak cepat direspon oleh bank umum dengan menurunkan suku bunga kredit mereka karena ketidak seimbangan informasi di pasar. Kondisi ini menjadikan kesempatan bagi bank umum untuk mengambil posisi untung jangka pendek. Contoh kasua penurunan BI rate dari 8,25 persen tidak serta merta mendorong Bank Umum menurunkan suku bunga kredit mereka.

Kondisi assimetric information’s dan kredit crunch ini menunjukan adanya gangguan intermediasi perbankan, yang untuk mendeteksi lebih lanjut dengan melihat variance residual dari persamaan simultan model Bernanke – Blinder dalam sub bab berikutnya.

4.2.3 Perbandingan Variance Residual atau Pengujian Stabilitas.

Pengujian untuk melihat stabilitas variabel di atas dengan melihat besarnya varuans residual-nya. Hasilnya adalah sebagai berikut :

Tabel 4.5

Variance Residuals M1 dan L

Sebelum dan Sesudah Krisis

Periode M1(Ms) L

1990.1-2006.4

(selum dan Sesudah)

R2 residual

0,182948

0,253336

SEE

0,054321

0,064444

Variance Residual

0,009938

0,016326

1990.1-1997.3

(Sebelum)

R2 residual

0,029072

0,104099

SEE

0,034101

0,065859

Variance Residual

0,000991

0,006856

1997.4-2006.4

(sesudah)

R2 residual

0,132469

0,113271

SEE

0,06434

0,060447

Variance Residual

0,008523

0,006847

Sumber BI, diolah 2008

Tabel di atas menunjukkan seberapa besar perbedaan variance residual dari periode sebelum dan sesudah krisis (1990 kuartal I sampai 2006 kuartal IV); periode sebelum krisis yaitu 1990 kuartal I sampai 1997 kuartal IV; dan periode sesudah krisis (1997 kuartal IV sampai 2006 kuartal IV).

Periode sebelum dan sesudah krisis, menunjukkan bahwa variance residual dari M1(9,938*10-3) < Kredit (1.6326*10-2) berarti artinya M1 memiliki volatilitas lebih kecil daripada kredit (L). Sebelum dan sesudah krisis moneter menunjukkan bahwa Jumlah Uang Beredar lebih efektif meningkatkan PDB. Penanganan kredit lebih signifikan dalam mengatasi gangguan mekanisme transmisi dalam periode ini.

Periode sebelum krisis, menunjukkan bahwa variance residual M1(9,91*10-4) < Kredit (6,856*10-3) artinya M1 memiliki volatilitas lebih kecil dari kredit (L). Sebelum krisis moneter menunjukkan bahwa Jumlah Uang Beredar lebih efektif meningkatkan PDB. Penanganan kredit lebih signifikan dalam mengatasi gangguan mekanisme transmisi dalam periode ini.

Periode sesudah krisis, menunjukkan bahwa volatilitas kredit lebih kecil dari volatilitas moneter dengan perbedaan variance residual jumlah uang beredar M1(8,523*10-3) > Kredit(L) (6,847*10-3) Sebelum krisis moneter menunjukkan bahwa Jumlah Kredit lebih efektif meningkatkan PDB.. Mekanisme transmisi jalur kredit lebih efektif daripada jalur moneter.

Implikasi kebijakan yang terjadi bahwa intermediasi perbankan tidak terjadi gangguan sebelum dan sesudah krisis moneter. Pada masa sebelum krisis terjadi kondisi dimana jalur uang lebih efektif dalam mekanisme transmisi daripada jalur kredit. Masa sesudah krisis jalur kredit lebih efektif di dalam mekanisme transmisi daripada jalur uang. Artinya penanganan masalah kredit pasca krisis yang dilakukan Bank Indonesia berjalan dengan efektif meski melalui berbagai rintangan. Periode sebelum dan sesudah krisis terlihat jalur uang lebih efektif daripada kredit di dalam mekanisme transmisi dalam meningkatkan PDB. Artinya meskipun jalur kredit sudah jauh lebih efektif dalam mekanisme transmisi, namun perlu ditingkatkan penanganan di jalur kredit. Karena penanganan jalur kredit cukup berat, akibat gejolak moneter pada saat krisis mampu meruntuhkan kepercayaan perbankan.

Kesimpulannya pada saat ini telah tercapai kesehatan perbankan yang lebih baik daripada sebelum krisis moneter, karena syarat-syarat kesehatan perbankan yang dikeluarkan BI cukup ketat. Kebijakan itu dilakukan dengan berbagai paket kebijakan perbankan seperti arsitektur perbankan Indonesia dan Penerapan manajemen resiko perbankan yang ketat pula.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Hasil akhir dari thesis ini adalah mengambil kesimpulan berdasar pengujian empiris dengan pendekatan teori yang ada. Penelitian dengan jumlah sampel 68 dan menggunakan data runtut waktu. Kesimpulan yang diambil adalah :

  • Tidak ada pengaruh suku bunga SBI, dan Inflasi terhadap Jumlah Uang Beredar (M1) dan ada kenaikan PDB (Y) dan kenaikan M1 satu periode sebelumnya mempengaruhi kenaikan M1 di Indonesia. Terjadi penurunan jumlah uang beredar tiap periode apabila variabel PDB, suku bunga SBI, inflasi dan Jumlah uang beredar satu periode sebelumnya tetap. Dengan derajat keyakinan 90 persen.

  • Tidak ada pengaruh suku bunga SBI, terhadap Jumlah Uang Beredar (M1) (derajat keyakinan 90%) dan penurunan PDB (Y) dengan derajat keyakinan 90% sebelumnya mempengaruhi kenaikan Kredit . Kenaikan penawaran Kredit satu periode sebelumnya, kenaikan inflasi dan penurunan suku bunga kredit mempengaruhi kenaikan Kredit di Indonesia. Terjadi kenaikan kredit tiap periode apabila variabel PDB, suku bunga SBI, inflasi, suku bunga kredit dan jumlah kredit satu periode sebelumnya tetap.

  • Sebelum krisis moneter Jumlah Uang Beredar (M1) lebih efektif dari Kredit (L) dalam mekanisme transmisi moneter ditunjukkan dengan variance residual Jumlah Uang Beredar ( M1) lebih kecil dari kredit sebelum krisis.

  • Sesudah krisis moneter kebijakan moneter pasca krisis dianggap mampu mengembalikan kestabilan moneter. Kredit lebih efektif dari Jumlah Uang Beredar (M1) dalam mekanisme transmisi moneter ditunjukkan dengan variance residual Jumlah Uang Beredar (M1) lebih besar dari kredit sesudah krisis moneter.

5.1 Saran

Kredit sangat penting didalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi disamping jumlah uang beredar (M1). Stabilitas Jumlah Uang Beredar dan kredit harus tetap dijaga. Karena dengan tingkat stabilitas yang tinggi pertumbuhan ekonomi cepat untuk tercapai.

Dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter perlu langkah-langkah efektif yaitu dengan stabilitas harga, suku bunga kredit dan suku bunga SBI sehinggan mampu mengendalikan Jumlah Uang Beredar dan Kredit.

Untuk meningkatkan volume kredit dibutuhkan tingkat suku bunga kredit yang rendah, suku bunga kredit yang rendah, dan suku bunga SBI yang rendah pula. Kredit juga akan meningkat apabila pendapatan masyarakat meningkat.

Kebijakan moneter yang efektif akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menjaga stabilitas harga , sehingga meningkatkan lapangan kerja. Maka diperlukan kebijakan moneter yang mampu untuk mencapai sasaran akhir dari pembangunan ekonomi tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar Nasution. 2005. Membangun Kembali Perkonomian Indonesia Setelah krisiss 1997-1998. Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. 2005. Hal.8-9.

Bernanke-Blinder. 1988. Credit, Money and Aggregate Demmand. National Bureu of Economics Research 1050 Massachusetts Avenue Canbride, MA 02138 M.

Burhanudin Abdullah. 2005. Strategi Kebijakan Moneter dalam mendorong Pertumbuhan Ekonomi yang berkelanjutan. ISEI-Penerbit Kanisius , 2005. Hal 429 – 445

Charles S. Morris dan Gordon H. Sellon, Jr. 1995. Bank Lending and Monetery Policy : Evidence on a Credit Channel. Federel reserves Bank of Cansas City, economics review, kwartal kedua 1995. Hal. 59 – 75

Damodar N. Gujarati. 2002. Basic Econometrics. United States Military Academy, West Point-Mc Graw-Hill Higher Education.

Doddy Zulverdi, Iman Gunadi, and Bambang Pramono. 2006. Bank Portfolio Model and Monetary Policy in Indonesia. Directorate of Economic Research and Monetary Policy –Bank Indonesia, Agustus 2006. Hal. 1-25

Dominique Dwor-Frecaut, Mary Hallward-Driemeier, Francis X. Colaço. 1999. CORPORATE CREDIT NEEDS AND GOVERNANCE. World Bank, Asia-Pacific Management Consultants, Inc.

Fajar Bambang Irawan. 2007. Efektifitas Quantum Channel dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter : Studi Kasus Tahun 1993-2005. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, 2007. Hal. 53-73

Frederic S. Miskhin. 2001. The Economics of Money Banking, and Financial Markets. Pearson Education International, USA or Canada, Edisi 6.

HLB Hadori dan Rekan. 2002. Studi Ekonomi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Katalog Dalam Terbitan (KDT) Studi Ekonomi BLBI-Riset Bank Indonesia, 2002. Hal. 69 – 80.

Insukindro. 2003. Kebijakan Moneter yang tidak Diantisipasi dan pengaruhnya terhadap Komponen Pasar Uang di Indonesia. makalah pada Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia XV Batu, Malang.

Iskandar Simorangkir. 2002. Determinan Bank Runs pada krisis Perbankan 1997-1998: Suatu Kajian dengan Menggunakan Panel data Dinamis. Center for Banking Education dan Studies, Bank Indonesia. Hal. 99-143

Jean Boivin, March Gionnoni. 2002. Assesing Changes in the Monetery Transmission Mechanism: a VAR approach. FRBNY Economics Policy Review, May 2002. Hal. 97 – 107

M Agus Choirun. 2007. Interpolasi. Program semi Que IV teknik Mesin Unibraw.

Oscar Sanchez. 2001. The Transmission of Monetery Policy and the Behavior of Manufacturing Firms in Mexico. Center for Research on Economics Development and Policy Reform at Stanford University, Oktober 2001. Hal. 1-26.

Perry Warjiyo. 2006. Stabilitas Sistem Perbankan dan Kebijakan Moneter, Keterkaitan dan Perkembangannya di Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 2006. Hal. 429-453.

Peter N. Ireland. 2005. the Monetery Transmission Mechanism, Boston College, Departement of Economics, Desember 2005. Hal. 1 – 14

Rodrigo Alfaro, Carlos Garcia, Helmut Franken and Alejandro Jara. 2004. The Bank Lending Channel in Chile. Central Bank on Chile and International Monetery Funds, 2004. Hal. 128 – 144.

Walter Orellana, Oscar Lora, Raul Mendoza, dan Rafel Boyan. 2000. La Politica Monetaria en Bolivia mechanismos de Transmision. Assesoria de Politica Economica Banco centralo de Bolivia, Juli 2000. Hal. 1- 26

______________________. 2007. Kompas dikutip dari Laporan Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Bank Indonesia Bidang Moneter, Perbankan, dan Sistem Pembayaran Triwulan I-2007. Biro Humas Bank Indonesia.

By:

Posted in:


8 responses to “tesiski”

  1. maav pak ..

    bisa tolong dikirim gak ke email jurnanya ,, soalnya saya buka gak bisa2 dalam bentuk jurnal ..

    Terima kasih pak ..

  2. pak,,,saya mahasiswa statistika undip..saya mau tanya rumus interpolasi linier untuk mengubah data PDB dari series triwulanan menjadi bulanan..untuk skripsi saya…mohon bantuan nya ya pak…terima kasih.. 🙂

  3. Hello Web Admin, I noticed that your On-Page SEO is is missing a few factors, for one you do not use all three H tags in your post, also I notice that you are not using bold or italics properly in your SEO optimization. On-Page SEO means more now than ever since the new Google update: Panda. No longer are backlinks and simply pinging or sending out a RSS feed the key to getting Google PageRank or Alexa Rankings, You now NEED On-Page SEO. So what is good On-Page SEO?First your keyword must appear in the title.Then it must appear in the URL.You have to optimize your keyword and make sure that it has a nice keyword density of 3-5% in your article with relevant LSI (Latent Semantic Indexing). Then you should spread all H1,H2,H3 tags in your article.Your Keyword should appear in your first paragraph and in the last sentence of the page. You should have relevant usage of Bold and italics of your keyword.There should be one internal link to a page on your blog and you should have one image with an alt tag that has your keyword….wait there’s even more Now what if i told you there was a simple WordPress plugin that does all the On-Page SEO, and automatically for you? That’s right AUTOMATICALLY, just watch this 4minute video for more information at. Seo Plugin

Leave a reply to marlia Cancel reply