Kelelawarpun bisa Marah


Malam ini aku keluar rumah setelah aku selesaikan beberapa tumpuk buku dan menyelesaikan beberapa naskah tulisan saya. Aku buka pintu depan rumah, pintu kupu tarung yang tidak begitu lebar luas dari rumahku yang di desa dengan luasan 160 M2. Aku buka pintu ada beberapa gigitan buah ketepeng yang kemarin tak ada.


Kenapa aku berpikir itu kelelawar karena tak ada burung malam yang suka makan buah ketepeng. Paling buah buahan manis seperti jambu atau buah kersen. Namun aku tak heran lagi karena aku terlalu serakah tidak membagi buah Kelengkeng saya dengan membungkus dengan tas paranet buatanku sendiri.
Ternyata kelelawar yang menunggu buah kelengkem harus dan mengkonsumsinya di malam hari yang telah mereka tunggu sebagai bentuk lebaran kelelawar tak mereka temukan cuma seonggok benda hitam bergelantungan dan dia coba koyak koyak tapi tak berhasil.
Kelelawar itu bergumamam marah dan kepayahan dan untuk memuaskan selera laparnya dia makan buah buah ketepeng baik yang sudah masak dan mentah di munyahkan di depan teras rumahku.
Aku tersenyum dalam hatiku , “Hai kelelawar aku ingin juga menikmati kelengkeng yang aku tanam aku menikmati setelah aku biarkan kaum menikmatinya bertahun tahun pada musim sebelumnya.”
Itulah manusia seperti aku yang punya peradaban tapi tak mau berbagi denganmu, hanya karena aku merasa berhak menguasainya karena aku merasa menanam.
Kelelawar tak salah sebebarnya dia menanam buah dimana mana tapi tanah sudah di buat beraspal dan berbeton serta rumah dan gedung-gedung akibat ulah manusia.
Itulah dunia siapa yang kuat dan berkuasa dan dia yang menang dan merasa paling berhak menikmati semua ciptaan Tuhan. Apakah itu adil? Keadilan bukanlah sebuah yang absurd dan dari sudut pandang manusia yang berbeda dengan kelelawar.

Dumadi Tri Restiyanto dlm Sastra

By:

Posted in:


Leave a comment